Andi Satya Menilai Gagasan Menkes Mengizinkan Dokter Umum Melakukan Operasi Caesar Tidak Realistis

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Andi Satya Adi Saputra. Foto Nai/Niaga.Asia

SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Wakil Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Andi Satya Adi Saputra, yang juga seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi (SPOG) menilai gagasan Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, mengizinkan dokter umum melakukan operasi caesar (seksio sesarea), khususnya di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) yang kekurangan dokter spesialis kandungan, tidak realistis.

“Sebagai seorang SPOG, ilmu operasi caesar itu kami pelajari selama empat tahun pendidikan spesialis. Kalau dokter umum hanya diajarkan beberapa bulan, lalu dilepas sendiri, siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi komplikasi?” ujarnya saat ditemui wartawan di gedung E DPRD Kaltim, Senin (19/5/2025) .

Menkes menerangkan, keinginannya untuk mengizinkan dokter umum melakukan operasi caesar untuk menjawab kondisi darurat di daerah 3T yang tidak memiliki akses ke dokter spesialis kandungan.

“Pelatihan khusus yang singkat bagi dokter umum dapat menjadi solusi pragmatis untuk menjangkau daerah-daerah yang selama ini tidak memiliki layanan operasi caesar, yang merupakan salah satu prosedur paling krusial dalam dunia persalinan,” katanya di Jakarta, Rabu 14 Mei lalu.

Menurut Andi, operasi caesar bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga soal penilaian klinis yang kompleks, manajemen risiko tinggi, dan kesiapan menghadapi komplikasi darurat yang bisa berujung pada kematian ibu dan bayi.

“Nyawa orang ini tidak bisa dijadikan eksperimen. Apalagi di daerah yang minim fasilitas. Kalau terjadi pendarahan hebat, atau infeksi pasca operasi, siapa yang menangani?” lanjutnya.

Andi Satya menyatakan bahwa solusi yang lebih bijak dan berkelanjutan justru terletak pada peningkatan insentif dan fasilitas bagi para dokter spesialis agar bersedia bekerja di daerah 3T.

“Kenapa dokter spesialis enggan ke daerah? Karena penghasilan kecil dan fasilitas buruk. Kalau pemerintah ingin serius, beri insentif finansial yang kompetitif, sediakan rumah dinas, pastikan ada sekolah untuk anak mereka,” katanya.

Lebih lanjut, ia menyarankan agar pemerintah juga mempertimbangkan skema rotasi dokter spesialis melalui kerja sama dengan fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan.

“Kirim dokter-dokter spesialis kandungan secara berkala ke daerah 3T. Bisa per tiga bulan atau enam bulan. Itu solusi jangka pendek yang lebih masuk akal dibanding membiarkan dokter umum melakukan tindakan invasif,” ucapnya.

Menurut dia, kebijakan ini juga bisa menjadi bom waktu hukum dan etika medis, jika diterapkan tanpa payung hukum dan sistem pendampingan yang ketat.

“Kalau dokter umum mulai melakukan operasi caesar lalu ada komplikasi atau bahkan kematian, siapa yang dituntut? Bisa jadi liar dan merusak sistem,” ungkapnya.

Ia berharap Kementerian Kesehatan tidak gegabah dalam mengambil keputusan yang menyangkut keselamatan pasien dan masa depan profesi kedokteran.

“Saya tidak mengatakan pemerintah tidak peduli. Tapi keputusan seperti ini tidak bisa berbasis pragmatisme semata, apalagi tanpa melibatkan organisasi profesi dan dunia akademik,” tandasnya.

Penulis : Nai | Editor : Intoniswan | ADV DPRD Kaltim

Tag: