
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalimantan Timur (Kaltim). Anwar Sanusi menanggapi hangat perdebatan menarik seputar status hukum aktivitas pertambangan yang diduga dilakukan oleh PT TAA di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Diklathut atau Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.
Di dalam RDP Gabungan DPRD Kaltim yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim Darlis Pattalongi. Ia menyatakan bahwa kegiatan tersebut tidak bisa langsung dikategorikan sebagai ilegal, melainkan ‘legal offset’.
“Saya enggak setuju ini disebut ilegal, Pak. Orang legal tapi offset. Ada direktur, ada pemilik, perusahaannya juga jelas. Jadi legal itu, Pak. Tapi melakukan kegiatan yang keluar dari izin yang dimilikinya,” ujar Anwar Sanusi.
RDP yang terlaksana pada Kamis (10/7) di Gedung E DPRD Kaltim jalan Teuku Umar, Kota Samarinda ini juga dihadiri anggota DPRD Kaltim lainnya dari berbagai komisi seperti Sarkowi V Zahry, Syahariah Mas’ud, Hartono Basuki, Jahidin, serta Husin Djufri.
Kemudian peserta rapat lainnya, antara lain, PPNS Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan Purwanto, Wakil Direktur Reskrimsus Polda Kaltim Melki Bharata, Polisi Kehutanan Ahli Madya Bidang PKSDAE Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltim Rahmadi dan Dekan Fahutan Unmul Irawan Wijaya Kusuma, serta Ketua Laboratorium KHDTK Unmul Rustam.
Menurut Anwar Sanusi, keberadaan entitas hukum perusahaan PT TAA sebenarnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Perseroan terbatas ini memiliki izin lingkungan (AMDAL) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda, serta perpanjangan izin melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kaltim.
Namun demikian, Anwar menekankan bahwa legalitas perusahaan juga tidak serta merta menjadikan seluruh kegiatannya sah, terlebih jika aktivitas pertambangan dilakukan di luar dari wilayah yang telah ditentukan dalam izinnya.
“Kalau benar yang ndoser dan alat berat itu milik perusahaan, berarti dia legal. Tapi kalau dia nambang di lokasi yang tidak diizinkan, itu artinya dia offset. Jadi bukan ilegal dalam arti hitam-putih, tapi keluar dari jalur izinnya,” jelasnya.
Anwar kemudian merujuk pada Peraturan Menteri LHK Nomor 14 Tahun 2024 yang mengatur sanksi administratif maupun denda terhadap pelaku usaha yang telah melanggar ketentuan lingkungan hidup. Ia membacakan ketentuan terkait sanksi denda bagi kegiatan yang berjalan tanpa persetujuan lingkungan yang sah.
Jika pelaku memiliki perizinan berusaha tapi tidak memiliki persetujuan lingkungan kata dia, maka dendanya itu sebesar 2,5 persen dari nilai investasi. Namun jika pelaku tidak memiliki persetujuan lingkungan maupun perizinan berusaha, maka dikenai denda sebesar 5 persen dari nilai investasi.
“Ini kalau dikaitkan dengan aspek lingkungan. Kalau yang lain, seperti pertambangan atau kehutanan, itu bukan ranah saya. Jadi saya tidak berkomentar soal pidananya, karena di situ sudah ada Polda Kaltim dan Gakkum yang menangani,” terangnya.
Saat ditanya ulang oleh Niaga.Asia apakah benar kegiatan tersebut dapat dikategorikan legal, Anwar menjawab bahwa pernyataan yang ia lontarkan dalam RDP gabungan DPRD Kaltim itu bersifat kondisional, tergantung pembuktian lebih lanjut.
“Kalau benar yang nambang itu orang legal, ya berarti dia legal. Tapi kalau ternyata bukan, ya ilegal. Namun ini semua perlu pembuktian lebih lanjut. Konteksnya kita sebut offset, itu jika perusahaan legal melakukan kegiatan di lokasi yang tidak semestinya,” tegasnya.
Anwar menutup pernyataannya dengan menyerahkan proses hukum kepada pihak berwenang, yaitu Polda Kaltim dan Gakkum KLHK. Ia menegaskan bahwa DLH hanya akan menilai berdasarkan aspek lingkungan dan kepatuhan administratif sesuai aturan yang berlaku.
“Kelihatannya prosesnya juga sudah berjalan. Polisi jalan, Gakkum juga jalan. Jadi biarlah semua pihak bekerja sesuai ranahnya. DLH Kaltim akan fokus pada aspek lingkungan dan kepatuhan terhadap izin lingkungan,” tutupnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | ADV Diskominfo Kaltim
Tag: DLH KaltimTambang Ilegal