Dahlan Iskan Manusia Setengah Mesin

Oleh: Intoniswan

Dahlan Iskan. Foto Disway

Usia saya bulan Nopember nanti 63 tahun. Saya pertama kali bertemu muka dengan Dahlan Iskan sekira 33 tahun lalu, atau tepatnya tahun 1992, atau setelah saya bekerja 3 tahun di surat kabar hari SKH ManuntunG. Saya memulai karier sebagai wartawan di Manuntung di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, yang kini jadi Provinsi Kalimantan Utara.

Bekerja sejak akhir tahun 1989 di Tanjung Selor, pada tahun 1991 saya ditarik ke Samarinda oleh Redaktur Pelaksana ManuntunG di Samarinda, almarhum AA Reamur Gustam. Saat itu ManuntunG mempunyai dua Redaktur Pelaksana, satunya lagi adalah Rizal Effendi, berkedudukan di Balikpapan.

Saya waktu itu hanya perlu waktu bekerja di lapangan tidak sampai 3 tahun, setelah itu sudah ditunjuk jadi redaktur, malahan jadi redaktur atau penanggungjawab 3 halaman sekaligus, yakdi redaktur halaman daerah, halaman Jawa, dan Opini.

Sewaktu sudah jadi redaktur, saya harus pindah dan tinggal di Balikpapan sejak tahun 1992. Saat kerja di kantor ManuntunG di Balikpapan, saya pertama kali melihat muka Dahlan Iskan. Dahlan sangat sering ke  Balikpapan. Perhatiannya ke ManuntunG sangat besar, selain karena anak perusahaan pertama dari Jawa Pos Grup, ManuntunG adalah mesin uang paling produktif diantara sekian banyak anak perusahaan Jawa Pos.

Setiap datang ke Balikpapan, Dahlan biasanya dari bandara langsung ke percetakan, mengecek kondisi mesin, kebersihan, dan perawatan mesin. Dahlan punya pantangan, mesin cetak harus selalu dalam kondisi bersih, tidak boleh berdebu, oli mesin dan tinta tidak boleh berceceran, dan pekerja percetakan tidak beoleh menduduki kertas, termasuk koran ManuntunG.

“Kita makan dari koran, jadi jangan duduki koran,” kata Dahlan.

Kesan pertama saya terhadap seorang Dahlan adalah, Dahlan manusia yang lengkap. Dahlan mampu bekerja 15-18 jam dalam sehari, atau dapat dikatakan manusia setengah mesin. Dahlan menurut saya juga manusia yang tak pernah berhenti berpikir, kecuali saat tidur. Menurut saya, karena Dahlan kuat berpikir, maka dia kuat bekerja, bukan sebaliknya.

Saya bertatap muka langsung dengan Dahlan saat Jawa Pos mengadakan pelatihan khusus atau sekarang bisa disebut semacam bimbingan teknis bagi para redaktur halaman daerah di semua koran anak perusahaan Jawa Pos. Pelatihan dilaksanakan di kantor Jawa Pos di Jalan Kembang Jepun, Surabaya. Saya bersama belasan redaktur lainnya dari anak perusahaan Jawa Pos, terutama dari Indonesia timur, diinapkan di Surabaya selama 3 hari. Pelatihan redaktur ditutup dengan nonton bareng film Malcom X bersama Dahlan.

Dahlan dalam pelatihan itu sekaligus jadi pemateri. Dahlan tidak hanya menjelaskan aspek-aspek teknis dari menulis berita, tapi juga menjelaskan bagaimana menggarap berita hingga berdampak pada naiknya oplah koran. Salah satu kisi-kisi berita yang disampaikan Dahlan yang kini masih saya ingat adalah, utamakan unsur kedekatan dengan pembaca. Koran di daerah atau lokal harus banyak beritanya tentang daerah, agar semakin dekat dengan pembaca di daerah. Dahlan juga mengajarkan bagaimana menghitung bobot berita koresponden atau seorang reporter.

Saya hanya tahan bekerja di ManuntunG sampai tahun 1995. Saya mengundurkan diri jadi wartawan, karena saat itu saya melihat, semakin besar perusahaan, semakin kejam perlakuannya terhadap karyawan.

Saat itu, meski ManuntunG penghasil uang terbesar dari semua anak perusahaan Jawa Pos, yang menetes ke karyawan/wartawan, saya rasa sangat sedikit sekali. Untuk dapatkan sepeda motor untuk bekerja mencari berita, wartawan harus bayar sendiri dari gajinya, yang tak seberapa. Gaji saya pada tahun 1995 hanya Rp375.000 per bulan.

Dahlan sangat terobsesi punya koran di semua kabupaten/kota di Indonesia. Surplus dari pendapatan ManuntunG, sebagian besar dihabiskan untuk investasi beli mesin cetak-beli mesin cetak dan mendirikan koran di Palu dan Banjar, dan dimana-mana, termasuk di kota-kota di Kalimantan Timur.

Sekarang Dahlan yang identik dengan Jawa Pos, malahan menyandang status sebagai tersangka pelaku tindak pidana, karena pelaporan yang dibuat oleh manajemen perusahaan Jawa Pos di Surabaya. Membaca kabar tentang itu, saya tidak kaget sebab, sudah dalam 3-5 tahun belakangan ini, ada gonjang ganjing di anak-anak perusahaan Jawa Pos, termasuk di Kaltim Post.

Apa yang terjadi sekarang menimpa Dahlan, menurut saya, jauh dari yang diduganya maupun diduga banyak orang. Tapi saya sendiri sudah lama menduganya. Penyebabnya adalah Dahlan sangat kuat bekerja dan melakukan ekespansi usaha, tapi mengabaikan hal-hal bersifat administratif. Termasuk perihal dalam mengubah nama ManuntunG dan Yayasan ManuntunG, yang nota bene milik Pemerintah Kota Balikpapan, setelah berubah nama jadi Kaltim Post.

Sekarang Dahlan Iskan yang dapat perlakuan “kejam” dari perusahaan yang dibesarkannya sendiri. Tapi sebegai sesama jurnalis, tentu saya berharap, manajemen Jawa Pos berdamai dengan Dahlan Iskan. Tidak perlu sampai urusan “ecek-ecek” dibawa ke ranah pidana.

Kontribusi Dahlan memajukan perusahaan pers di Kalimantan Timur sangat besar dan begitu juga dalam memodernisasi cara berpikir dan bekerja wartawan di Kalimantan Timur melalui ManuntunG atau Kaltim Post dan anak-anak perusahaannya.

Penulis adalah  wartawan SKH ManuntunG 1989-1995, kini Pemimpin Redaksi Media Online Ekonomi dan Bisnis Niaga.Asia

Tag: