
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Fenomena pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece jelang HUT ke-80 Republik Indonesia tanggal 17 Agustus memicu beragam reaksi. Sebagian masyarakat pun melihatnya sebagai ekspresi yang menghibur, namun pemerintah dan aparat penegak hukum menganggapnya sebagai sinyal penurunan nasionalisme.
Tiga pandangan berbeda tersebut datang dari pengamat masyarakat sipil UINSI Samarinda, Arsinah Sadar; Sekretaris Badan Kesbangpol Kalimantan Timur (Kaltim) Ahmad Firdaus Kurniawan; dan Kapolresta Samarinda Hendri Umar.
Ketiganya menanggapi fenomena ini dari sudut pandang yang berbeda, mencerminkan kontras antara ekspresi budaya dan norma kenegaraan terhadap simbol kebangsaan.
Menurut Arsinah Sadar, fenomena bendera One Piece mencerminkan bentuk kritik sosial generasi muda terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang dirasakan.
“Penggunaan bendera bajak laut dari One Piece adalah contoh menarik bagaimana simbol budaya pop dapat digunakan untuk menyuarakan keresahan sosial. Ini bukan sekadar tren viral, tapi manifestasi simbolis dari keinginan masyarakat untuk didengar dan diakui,” ujarnya kepada Niaga.Asia pada Rabu malam (6/8).
Sebagai akademisi dan penggemar One Piece, ia menyebut bahwa simbol kru Topi Jerami sebagai lambang untuk mengekspresikan diri terhadap ketidakadilan. Diterangkannya, One Piece merepresentasikan perjuangan anak-anak muda yang berlayar untuk melawan kesewenang-wenangan kekuasaan.
“Kalau orang tahu filosofi One Piece, mereka mungkin akan tertawa sekaligus merenung. Ini soal solidaritas, kebebasan, dan pencarian kebenaran ala Topi Jerami. Rakyat sekarang menghadapi banyak tekanan mulai dari utang, korupsi, kriminalisasi, sampai kemiskinan. Lalu mereka hibur diri dengan bendera bajak laut. Wajar saja,” jelasnya.
Arsinah berpendapat bahwa sebenarnya ini adalah peluang bagi pemerintah untuk dapat mendengar suara rakyat lewat simbol-simbol, lalu menyikapinya dengan dialog terbuka, dan mengingatkan regulasi soal simbol negara.
Meski bendera bajak laut digunakan sebagai simbol, ia pun mengingatkan agar masyarakat tetap menghormati dan mengibarkan bendera Merah Putih sebagai simbol kedaulatan serta kuatnya nasionalisme Indonesia.
Arsinah juga membandingkan fenomena ini dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di era Presiden Gus Dur, yang saat itu tidak dianggap sebagai tindakan makar.
“Ada kemiripan simbolik. Bendera Bintang Kejora dan bendera One Piece sama-sama jadi simbol identitas, harapan, dan bentuk perlawanan. Bedanya, yang satu lahir dari perjuangan politik berdarah, yang satu dari dunia imajinatif anime,” terangnya.
Menurutnya, anak muda yang mengibarkan bendera anime One Piece sebenarnya tidak merasa memberontak, tapi sedang bersenang-senang sambil menyampaikan keresahan sosial secara aman dan kreatif. Mereka ini menyuarakan perasaan kebersamaan dan kebebasan dengan cara yang seru.
“Kalau yang bicara anak muda lewat anime, kesannya lebih aman. Tapi tetap ada risiko dicurigai, apalagi kalau pemerintah kurang siap membuka ruang dialog. Padahal ini ekspresi yang tidak ekstrem, masih dalam batas damai,” paparnya.
Dalam pernyataan akhirnya, Arsinah Sadar mengingatkan bahwa negara seharusnya tidak cepat mencurigai ekspresi seperti ini, tetapi menyerap makna di baliknya.
“Jangan buru-buru menilai simbol bajak laut sebagai bentuk perlawanan serius. Lebih baik buka ruang dialog, agar aspirasi anak muda bisa tersampaikan tanpa harus bermain api,” pesannya.
Berbeda dengan pandangan Arsinah, Ahmad Firdaus Kurniawan menilai tren ini berpotensi menurunkan jiwa nasionalisme, apalagi muncul di bulan kemerdekaan.
“Bulan Agustus ini seharusnya diisi dengan semangat mengibarkan bendera Merah Putih, bukan simbol-simbol lain. Pemerintah pusat juga sedang menggalakkan gerakan bagi-bagi 10 juta bendera Merah Putih,” tuturnya.
Firdaus menegaskan belum ada laporan resmi soal pengibaran bendera One Piece di Kaltim, namun ia berharap masyarakat tidak ikut-ikutan dengan tren nasional tersebut.
“Kalau jiwa kita nasionalis, tentu yang kita kibarkan adalah Merah Putih. Jangan sampai simbol lain dipakai justru melemahkan lambang negara,” tegasnya.
Menanggapi pendapat pengamat bahwa bendera ini adalah ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, Firdaus tidak menampik hal itu, namun mengingatkan pentingnya jalur konstitusional.
“Kalau kecewa, silakan disampaikan, tapi jangan sampai bentuknya melemahkan simbol negara. Kita punya saluran-saluran resmi untuk menyalurkan aspirasi,” imbuhnya.
Sementara itu, Kapolresta Samarinda, Hendri Umar, turut memberikan imbauan pada warga agar tidak menggunakan simbol lain di luar bendera Merah Putih, terutama pada momen 17 Agustus.
“Kami hanya punya satu bendera nasional, satu simbol kebangsaan. Mari kita jaga bersama. Jangan sampai kita menyimpang dari simbol yang telah menyatukan kita selama 80 tahun,” tambahnya.
Pihak kepolisian, kata Hendri, akan bekerja sama dengan Kesbangpol, Kodim, dan Pemkot Samarinda untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga simbol kebangsaan.
“Kalau ditemukan pengibaran bendera selain Merah Putih, kami akan mendahulukan upaya pemahaman dan pembinaan. Bukan langsung represif, tapi edukatif. Ini sebagai bentuk rasa cinta dan kebanggaan kita terhadap tanah air di Indonesia,” pungkasnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: Bajak Laut