Penulis: Arsinah Sadar, M.SI

Indonesia telah menapaki usia 80 tahun sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam kurun waktu delapan dekade ini, bangsa kita mengalami transformasi besar: dari sistem pemerintahan parlementer ke presidensial, dari ekonomi agraris ke industri digital, dan dari masyarakat tertutup ke era keterbukaan informasi. Lanskap sosial, budaya, hingga struktur politik pun terus berubah.
Namun satu hal yang masih terus diperjuangkan hingga hari ini adalah kesetaraan bagi perempuan. Sebuah perjuangan yang tak selalu tampak di halaman depan, namun menjadi denyut nadi bagi demokrasi yang sejati.
Pertanyaannya: apakah kemerdekaan yang dikumandangkan sejak 1945 itu telah sungguh-sungguh menyentuh hidup perempuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke?
Jejak Perempuan dalam Sejarah Bangsa
Sejak masa penjajahan, perempuan Indonesia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa. Kita mengenal nama-nama besar seperti Cut Nyak Dhien yang mengobarkan perlawanan di Aceh, Kartini yang menulis tentang ketimpangan pendidikan bagi perempuan Jawa, serta Dewi Sartika, pendiri sekolah bagi anak perempuan di tanah Sunda.
Namun sejarah perempuan Indonesia tak hanya berisi narasi tokoh-tokoh besar. Di pelosok desa, perempuan petani, guru desa, dan pengasuh rumah tangga juga mengukir perlawanan mereka terhadap ketidakadilan. Mereka memikul beban ganda dalam diam: menjaga dapur tetap berasap, menyekolahkan anak-anak, bahkan menjadi jembatan penyintas ketika perang dan konflik memisahkan keluarga.
Sayangnya, narasi sejarah nasional kerap menempatkan perempuan sebagai figuran. Nama-nama mereka terselip dalam catatan kaki, sementara panggung utama diisi oleh laki-laki. Padahal, dari ladang, ruang kelas, meja jahit, hingga barisan demonstrasi, perempuan selalu hadir—sering kali dalam senyap—untuk memastikan bangsa ini tetap hidup dan berjalan.
Perempuan dan Politik: Menembus Tembok Kekuasaan
Setelah kemerdekaan, kiprah perempuan di politik nasional mulai terlihat. Maria Ulfah Santoso, misalnya, tercatat sebagai perempuan pertama yang menjabat menteri dalam kabinet Indonesia. Lalu ada S.K. Trimurti, jurnalis dan aktivis buruh perempuan yang berani mengangkat suara rakyat kecil.
Dalam masa Reformasi, nama-nama seperti Khofifah Indar Parawansa, Sri Mulyani Indrawati, dan Megawati Soekarnoputri menandai kiprah perempuan di panggung kekuasaan. Namun harus diakui, partisipasi politik perempuan masih menghadapi banyak tantangan, mulai dari minimnya dukungan partai politik hingga bias gender yang masih kental dalam kultur birokrasi.
Laporan Global Gender Gap Report 2024 dari World Economic Forum memang menunjukkan adanya peningkatan skor kesetaraan gender Indonesia, terutama dalam aspek pendidikan dan partisipasi politik. Jumlah perempuan di parlemen meningkat menjadi sekitar 22%, tetapi masih jauh dari ambang ideal 30% untuk representasi yang setara.
Capaian yang Layak Dirayakan
Di luar politik, perempuan Indonesia menunjukkan kapasitas luar biasa di berbagai sektor. Mereka menjadi CEO perusahaan startup, pemimpin daerah, inovator teknologi, penggerak koperasi desa, hingga aktivis lingkungan.
Contohnya, Tri Rismaharini dikenal sebagai wali kota perempuan yang sukses membenahi Surabaya. Yeni Wahid, putri Gus Dur, menjadi simbol pergerakan Islam moderat dan inklusif. Di level akar rumput, perempuan seperti Bu Lasmi di Kulon Progo memimpin koperasi tani organik, dan Mama Aleta Baun dari Nusa Tenggara Timur menjadi aktivis lingkungan yang berhasil menggagalkan ekspansi tambang di wilayah adat.
Capaian-capaian ini adalah bukti bahwa ketika perempuan diberi ruang, mereka mampu mengubah wajah bangsa.
Kesenjangan Masih Membayangi
Namun kita tidak bisa berhenti pada perayaan. Di balik deretan prestasi itu, masih terhampar kesenjangan yang mencolok.
Data Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang 2023, terjadi lebih dari 400 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini termasuk kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, pernikahan anak, hingga kekerasan di tempat kerja. Angka ini menunjukkan bahwa ruang aman bagi perempuan belum benar-benar tercipta di negeri ini.
Di sektor pekerjaan, perempuan masih menghadapi diskriminasi upah. Laporan BPS menunjukkan bahwa perempuan menerima rata-rata 77% dari gaji laki-laki untuk pekerjaan yang setara. Di sektor informal—yang justru menyerap lebih dari 60% tenaga kerja perempuan—perlindungan hukum dan jaminan sosial nyaris tidak ada.
Banyak perempuan juga menanggung beban ganda: bekerja di ranah publik sambil mengurus rumah tangga secara penuh. Dalam banyak keluarga, kerja domestik masih dianggap “tugas kodrati” perempuan, meski tidak dibayar dan tak diakui sebagai kontribusi ekonomi.
Akses terhadap pendidikan dan kesehatan pun masih timpang. Di wilayah Indonesia Timur, tingkat putus sekolah perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Perempuan adat dan kelompok rentan sering kali tidak mendapat akses ke sumberdaya produktif, seperti tanah, modal usaha, atau pelatihan kerja.
Perempuan Merdeka Cermin Bangsa Merdeka
Kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, melainkan bebas dari segala bentuk ketidakadilan dan kekerasan struktural.
Negara yang besar bukanlah negara yang hanya mengagungkan pembangunan infrastruktur, tetapi negara yang mengangkat semua warganya tanpa kecuali. Termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan—baik karena kelas sosial, identitas budaya, maupun gender.
Perempuan yang berdaya bukan ancaman, melainkan kekuatan sosial dan ekonomi yang sangat penting untuk keberlanjutan pembangunan. Mereka membangun ketahanan keluarga, menciptakan jaringan sosial, dan menjadi pionir perubahan dalam komunitas.
Menuju Kemerdekaan yang Inklusif
Langkah menuju kesetaraan gender tidak bisa hanya mengandalkan semangat atau retorika. Diperlukan langkah nyata dan sistematis melalui:
1.Kebijakan afirmatif yang konsisten dan terukur
Seperti kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen dan partai politik, serta insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan perempuan di posisi strategis.
2.Sistem hukum yang berpihak pada korban
Termasuk implementasi Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang ramah korban dan berperspektif keadilan restoratif.
3.Pendidikan sensitif gender sejak usia dini
Kurikulum yang tidak bias gender dan guru yang dilatih untuk menghargai keragaman.
4.Kolaborasi lintas sektor dan lintas generasi
Dari komunitas lokal hingga dunia usaha, dari aktivis muda hingga tokoh agama, semua pihak harus terlibat dalam menciptakan ruang aman dan inklusif.
5.Gerakan masyarakat sipil
Organisasi perempuan, komunitas adat, dan kelompok disabilitas harus terus didukung sebagai penjaga moral bangsa.
Membayangkan Masa Depan: Narasi yang Lebih Setara
Bayangkan jika setiap anak perempuan di Papua, Kalimantan, atau Kepulauan Aru bisa mendapat pendidikan setinggi mungkin, menjadi insinyur, pemimpin adat, atau menteri. Bayangkan jika setiap ibu rumah tangga mendapat penghargaan sosial dan perlindungan hukum. Bayangkan jika kerja-kerja pengasuhan tidak lagi dianggap beban perempuan saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama.
Kemerdekaan semacam itu bukan mustahil—ia bisa dicapai jika negara mau benar-benar hadir untuk perempuan.
Merdeka yang Sebenarnya
Delapan puluh tahun adalah waktu yang cukup untuk bertumbuh dan belajar. Tapi belum cukup jika kemerdekaan hanya dirasakan oleh sebagian. Jika masih ada perempuan yang ditolak haknya, dilecehkan karena pakaiannya, atau dilucuti dari peluang karena perannya sebagai ibu—maka pekerjaan kita sebagai bangsa belum selesai.
Perempuan merdeka bukan sekadar slogan. Ia adalah ukuran sejauh mana negara ini berpihak pada keadilan.
Dan selama masih ada satu perempuan yang terpinggirkan, maka kita belum benar-benar merdeka.
*) Penulis adalah Dosen FTIK UINSI Samarinda
Tag: Opini