Ketua PT Kaltim: Kekayaan Negara Kerap Hilang Akibat Praktik Kejahatan

Ketua Pengadilan Tinggi Kaltim Suwidya (kiri) disambut Wakil Kepala Kejati Kaltim Zullikar Tanjung di Seminar Nasional Kupas Strategi Efektif Menyelamatkan Aset Negara yang diselenggarakan Kejati Kaltim di Fakultas Hukum Unmul  Samarinda, Jum’at (22/8/2025). (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Kaltim, Suwidya, menekankan bahwa upaya penyelamatan aset negara harus tetap mengedepankan rule of law dan due process of law sebab, kekayaan negara yang melimpah kerap hilang akibat praktik kejahatan, sehingga membutuhkan mekanisme hukum yang jelas dan kuat agar tidak ada penyalahgunaan kewenangan.

Suwidya mengungkap itu saat menjadi pembicara di Seminar Nasional Kupas Strategi Efektif Menyelamatkan Aset Negara yang diselenggarakan Kejati Kaltim di Fakultas Hukum Unmul  Samarinda, Jum’at (22/8/2025).

“Kekayaan negara kita luar biasa, tapi banyak yang tidak terselamatkan. Karena itu perlu metode seperti follow the money dan follow the asset. Namun semua harus tetap dalam koridor hukum yang jelas, dari hulu ke hilir, mulai aparat lapangan, pengadilan, hingga eksekusi putusan,” imbuhnya.

Dia menjelaskan, saat ini sedang dibentuk lembaga khusus yang akan menjadi leading sector dalam pemulihan aset, yaitu Badan Pemulihan Aset. Lembaga ini diharapkan menjadi pengendali utama agar jalannya proses perampasan dan pemulihan aset negara berjalan sesuai aturan.

“Kalau mobil sudah dibeli, harus jelas caranya jalan lewat mana. Kalau tidak ada aturan, bisa menabrak. Karena itu penting adanya lembaga kuat, dengan dasar hukum yang jelas dan terintegrasi dari awal hingga akhir proses,” tambahnya.

Dalam diskusi, ia juga sempat menyinggung soal adanya kekosongan hukum dalam hal teknis penanganan aset hasil kejahatan. Pada Pasal 67 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang disebutkannya, membuka ruang penyitaan terhadap barang temuan, barang tidak bertuan, maupun hasil kejahatan lainnya yang pelakunya tidak ditemukan.

Namun, implementasinya masih terkendala, karena belum ada aturan teknis yang rinci. Lanjut dia, saat ini di pengadilan memang sudah ada aturan yang berlaku mengikat, yakni Peraturan Mahkamah Agung tentang tata cara penanganan harta kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana lainnya.

“Pasal 67 UU TPPU memungkinkan penyitaan, tapi bagaimana mekanismenya di pengadilan masih perlu aturan yang lebih tegas. Kalau di Pengadilan ada Peraturan Mahkamah Agung yang mengikat semuanya tentang bagaimana cara menangani harta temuan itu. Baik karena pencucian uang maupun tindak pidana lain. Itu bisa menjadi salah satu referensi, tapi belum cukup untuk menjawab kebutuhan hukum sekarang,” tegasnya.

Karena itu, Rancangan UU Perampasan Aset perlu segera dibahas dan ditetapkan. Sebab, RUU ini akan memberi kepastian hukum, agar tidak ada tumpang tindih dalam praktik, dan yang paling penting adalah menyelamatkan kekayaan negara dari tindak pidana dengan tetap menjunjung tinggi due process of law.

Pemuliha aset lemah

Saat sesi seminar, akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini SH MH, mengkritisi lemahnya pemulihan aset di Indonesia. Berdasarkan data hingga 2023, hanya sekitar 18 persen kerugian negara yang berhasil dipulihkan.

Menurut Orin, Indonesia perlu belajar dari praktik internasional. Inggris, misalnya, menerapkan Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB-AF), yang memungkinkan penyitaan aset tanpa menunggu putusan pidana. Ada pula instrumen Unexplained Wealth Order yang mengharuskan pemilik aset membuktikan sumber kekayaannya.

“Di Australia bahkan ada Criminal Assets Confiscation Taskforce yang melibatkan kepolisian federal, otoritas pajak, dan lembaga analisis transaksi keuangan,” jelasnya. Hasil sitaan dikelola melalui Confiscated Assets Account untuk mendukung pembiayaan penegakan hukum.

Ia juga mengungkap model serupa di Filipina, yang menugaskan Anti-Money Laundering Commission di bawah Bank Sentral, serta Irlandia dengan Criminal Assets Bureau yang bersifat independen.

“Perbandingan ini menunjukkan, penguatan substansi hukum dan kelembagaan adalah kunci agar pemulihan aset berjalan efektif,” pungkas Orin.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: