
BALIKPAPAN.NIAGA.ASIA – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, menyampaikan keprihatinan mendalam atas meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
Demikian dia sampaikan saat peresmian Ruang Bersama Indonesia (RBI) di Balikpapan, Jumat 29 Agustus 2025.
Mengutip data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), Arifatul menyebut jumlah laporan kasus kekerasan terus meroket sepanjang tahun ini.
Dari Januari hingga 14 Juni, tercatat lebih dari 11 ribu kasus. Per 24 Agustus, jumlah itu melonjak menjadi 19.535 kasus, yang berarti dalam dua bulan terdapat tambahan sekitar 7.500 kasus baru.
“Ini bukan angka sedikit, ini luar biasa. Dan yang lebih memprihatinkan, ini baru fenomena gunung es, karena masih banyak korban yang belum berani speak up, belum berani bicara ketika melihat atau mengalami kekerasan,” kata Arifatul.
Menurut analisis Kementerian PPPA, terdapat lima faktor utama yang memicu maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Pertama faktor ekonomi. Banyak perempuan memilih diam karena bergantung secara finansial pada pelaku. Kedua pola asuh anak, di mana perubahan gaya pengasuhan terutama penggunaan gadget yang berlebihan, membuat ikatan emosional antara anak dan orang tua kian renggang.
Selanjutnya faktor lingkungan. Anak kerap salah memilih teman. Survei Forum Anak Daerah Semarang bahkan mencatat 80 persen anak lebih nyaman bercerita pada teman daripada orang tua.
Kemudian faktor pernikahan usia anak. Praktik ini masih terjadi di berbagai daerah, menimbulkan kerentanan berlapis. Serta faktor kurangnya ruang aman, di mana masih banyak perempuan dan anak belum memiliki ruang yang mendukung keberanian mereka untuk bicara.
Arifatul juga menekankan pentingnya pengasuhan penuh kasih dibanding menyerahkan anak sepenuhnya pada perangkat digital.
Dia mencontohkan, pelukan seorang ibu ketika anak menangis sebenarnya lebih bermakna, ketimbang sekadar memberikan gawai sebagai pengalih perhatian.
“Jangan salahkan anak-anak sekarang kalau lebih sulit diarahkan. Sebab ketika anak rewel, tidak mau makan, tidak mau belajar, yang diberikan bukan hati dan perhatian, melainkan gadget. Itu membuat kita kehilangan kesempatan membangun kedekatan emosional,” ucapnya.
Ariatul menegaskan bahwa solusi persoalan ini tidak hanya terletak pada kebijakan pusat, tetapi juga di akar rumput, desa, kelurahan, keluarga, hingga masyarakat.
“Bangsa yang kuat lahir dari desa-desa yang menyemai kesetaraan, dari keluarga yang saling mendukung tanpa kekerasan, dari ruang-ruang belajar informal yang menumbuhkan percaya diri, dan dari masyarakat yang percaya anak-anak mereka layak didengar aspirasi serta harapannya,” jelas Arifatul.
Penulis: Heri | Editor: Saud Rosadi
Tag: BalikpapanKementerian PPPAPerlindungan AnakPerlindungan Perempuan