Riset tentang Sawit Masih Sangat Minim

Kepala Pusat Riset Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN, Umi Muawanah mengungkapkan itu dalam rangkaian The 2nd Indonesia Palm Oil Research & Innovation Conference & Expo (IPORICE) 2025 di BRIN KST Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Rabu (01/10/2025). (Foto BRIN/Niaga.Asia)

JAKARTA.NIAGA.ASIA – Sebagian besar penelitian terkait sawit masih fokus pada pemanfaatan limbah dan emisi karbon. Sebaliknya, riset tentang diversifikasi produk, inovasi teknologi, dan circular economy sawit masih sangat minim. Ini menjadi peluang besar bagi lembaga riset seperti BRIN (Badan Riset dan Invasi Nasional), universitas, dan sektor swasta.

Kepala Pusat Riset Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN, Umi Muawanah mengungkapkan itu dalam rangkaian The 2nd Indonesia Palm Oil Research & Innovation Conference & Expo (IPORICE) 2025 di BRIN KST Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Rabu (01/10/2025),

Dijelaskan Umi, ada banyak tantangan yang perlu diatasi, terutama dari sisi riset dan implementasi. “Riset seharusnya di depan, bukan di belakang. Riset harus bisa menginformasikan kebijakan,” tandasnya.

Umi juga menyoroti adanya paradoks, di mana limbah sawit dinarasikan sebagai sumber pencemaran, padahal memiliki potensi besar sebagai sumber bioenergi. Ia menekankan perlunya riset untuk meningkatkan nilai tambah, efisiensi, dan daya saing global. Kolaborasi pentaheliks antara pemerintah, industri, akademisi, masyarakat, dan media menjadi kunci untuk menerjemahkan hasil riset menjadi kebijakan dan implementasi yang nyata.

Sementara itu, Iryan Permana Dharma, Subkoordinator Perencanaan Program Bioenergi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa sawit telah menjadi tulang punggung utama dalam pemanfaatan bioenergi di Indonesia.

Ia menyoroti visi swasembada pangan, energi, dan air yang dicanangkan Presiden Prabowo. Di mana, sawit memiliki peran ganda, baik untuk pangan maupun energi.

“Sesuai kebijakan energi nasional, pengembangan bioenergi adalah salah satu strategi utama kita untuk mewujudkan target net zero emission 2060 atau lebih cepat,” ujar Iryan.

Dalam hal itu, memaparkan data capaian bauran energi terbarukan tahun lalu sebesar 14,68%, di mana bioenergi berkontribusi hampir 70%. Kontribusi terbesar berasal dari program biodiesel B35, yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan mandatori biodiesel terbesar di dunia, bahkan mengalahkan Malaysia. Pemanfaatan sawit juga merambah bioetanol, bioavtur, gas (biometana), dan biomassa untuk listrik.

Direktur Utama PT. SMART Tbk, Agus Purnomo, dalam diskusi, memberikan perspektif dari sektor swasta. Ia mengungkapkan bahwa komitmen perusahaan terhadap Net Zero Emission (NZE) didorong oleh dua faktor utama, yaitu kebijakan pemerintah dan tuntutan pasar global yang sensitif.

“Pembeli-pembeli kami di pasar-pasar besar seperti Amerika, Eropa, hingga Tiongkok, menuntut produk yang turut menjaga keberlanjutan. Bahkan, dalam delapan tahun terakhir, beberapa pembeli besar di Eropa bersedia berbagi biaya memberikan premi antara $30 hingga $50 per ton untuk produk sawit yang berkelanjutan dan rendah emisi,” jelas Agus.

Secara teknis, Agus memetakan emisi sawit ke dalam dua kategori besar. Pertama, emisi terkait lahan (FLAG), bersumber dari limbah cair (POME) yang menghasilkan gas metana, pemakaian pupuk, dan dampak dari pembukaan lahan baru.

Upaya mitigasi yang dilakukan termasuk juga konservasi hutan, restorasi gambut, dan pengolahan POME menjadi pupuk. Kedua, emisi tidak langsung yang berasal dari transportasi (pergerakan CPO dan produk akhir) dan pembelian CPO dari pihak ketiga.

Senada dengan itu, Ketua Bidang Teknologi GPPI, Petrus Tjandra memandang dari sisi swasta dengan mengemukakan pentingnya sinergi penta-helix. Ini agar hasil penelitian tidak hanya berakhir di perpustakaan, tetapi dapat terimplementasi dan dikomersialkan. Ia menyebutkan, pemerintah menargetkan produksi 100 juta ton sawit pada 2045, dengan 70% di antaranya akan dialokasikan untuk energi.

BRIN harus menjadi pemimpin agar riset kita tidak jalan sendiri-sendiri dan bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat, termasuk petani.

“Semua teknologi dasar, seperti bensin sawit, bioavtur, dan lainnya sudah ada. Masalahnya sekarang adalah bagaimana kita mengkoordinasikan dan menghilirkannya,” sambung Petrus.

Ia memberi contoh kebijakan Jepang yang mulai mengandalkan biomassa cangkang sawit sebagai pengganti energi nuklir. Itu menunjukkan betapa besarnya potensi sawit di kancah global.

Pembahasan kebijakan industri sawit ini mengakomodir pandangan dari sisi pemerintah, dan pelaku industri. Melalui diskusi yang dicapai, diharapkan menjadi wadah kolaborasi untuk mengatasi tantangan tersebut dan memastikan Indonesia bisa mewujudkan ketahanan energi berkelanjutan berbasis sawit.

Sumber: Humas BRIN | Editor: Intoniswan

Tag: