
SAMARINDA.NIAGA.ASIA — Sejumlah warga di sekitar proyek Terowongan Samarinda Segmen Jalan Kakap menolak tawaran kompensasi Rp5 juta per rumah dari kontraktor pelaksana, PT Pembangunan Perumahan (PTPP) Persero Tbk.
Warga menilai nominal itu tidak sebanding dengan kerusakan struktural rumah mereka, seperti retakan parah pada dinding dan lantai, yang diduga akibat pengerjaan proyek itu.
Kilas Balik Proyek Terowongan
Proyek Terowongan Samarinda sepanjang 426 meter itu dinisiasi Wali Kota Samarinda, Andi Harun, untuk mengurai kemacetan di kawasan Jalan Otista hingga Gunung Manggah Jalan Sultan Alimuddin. Nilai proyek terowongan itu hampir Rp 400 miliar.
Tujuan lainnya yakni menjadi solusi transportasi jangka panjang, seiring dengan pertumbuhan jumlah kendaraan dan penduduk.
Proyek terowongan Samarinda ini telah direncanakan sejak 2021. Namun untuk groundbreaking atau peletakan batu pertama sendiri baru terealisasikan pada 20 Januari 2023 lalu.
Setelah itu, Pemerintah kota (Pemkot) Samarinda melanjutkan proses pembebasan lahan yang dimulai dari sisi jalan Sultan Alimuddin, dan setelahnya berlanjut ke sisi Jalan Kakap.
Untuk pembebasan lahan warga di Jalan Sultan Alimuddin berjalan lancar. Namun di sisi Jalan Kakap yang melewati 40 aset warga, prosesnya cukup berliku karena sempat adanya ketidaksepakatan harga yang ditawarkan sebelumnya terhadap perhitungan Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP), sehingga pembebasan lahan warga di jalan Kakap ini baru tercapai di Januari 2024.
Setelah proses panjang pembebasan lahan warga ini, Pemkot kemudian mempercepat proses pengerjaan fisik Terowongan Samarinda di tahun itu, dan hingga tahun 2025 ini pengerjaan terus dikebut.
Uji Beban Fondasi Bikin Retak Rumah
Pengerjaan proyek nyatanya tidak selamanya berjalan lancar. Hari Rabu 15 Oktober 2025 malam lalu, pihak kontraktor melakukan pengujian fondasi (Pile Dynamic Load Test) sebanyak dua kali dengan beban 6 ton, untuk memastikan kekuatan struktur terowongan apakah sudah sesuai standar teknis, sebelum masuk tahap akhir pengerjaan.

Dari pengujian itu, warga yang berada dekat dengan proyek terowongan merasakan getaran hingga berdampak terhadap kerusakan rumah warga seperti dinding dan lantai yang kian parah. Hal ini sontak memicu kepanikan dan protes keras dari masyarakat setempat saat itu.
Dari kejadian itu, pihak PTPP (Persero) Tbk menegaskan kesiapan mereka bertanggung jawab dengan memberikan kompensasi senilai Rp 5 juta pe rumah.
“Kita bukan pihak yang bisa memberikan kepastian atau keputusan. Tapi arahan dari pimpinan kami, tadi itu kompensasi itu nilainya sekitar Rp5 juta untuk melakukan tindakan-tindakan. Tapi kita akan evaluasi lagi ke depannya,” kata Satuan Operasional Manager PTPP, Margono.
Ketua RT 19 Kelurahan Sungai Dama Bachtiar mengatakan, ada 5 rumah yang mengalami kerusakan yang cukup parah.
“Sebenarnya yang terdampak kecil itu banyak. Dampaknya retakan dan pergerakan tanah turun. Sudah lama (kejadiannya). Cuma pas (uji fondasi) itu, getaran terasa dan warga panik,” ujar Bachtiar.
Warga Minta Pembebasan Lahan
Dikonfirmasi terpisah, warga Jalan Kakap Yati, 58 tahun, menerangkan, pihak kontraktor belum pernah sama sekali melakukan sosialisasi kepada warga untuk pengerjaan proyek terowongan yang berada bersebelahan dengan pemukiman warga sekitar.
“Katanya ada sosialisasi 1 Mei, tidak ada. Mulai awal dilakukan penggusuran itu sampai sekarang, tidak.ada dikasih sosialisasi sampai sekarang,” kata Yati, ditemui niaga.asia di kediamannya, Kamis 16 Oktober 2025.

Yati yang merupakan penduduk asli setempat sejak rumahnya ditempati datuknya mengaku bahwa sejak dimulainya pengerjaan proyek terowongan, pihaknya kerap merasakan getaran, debu dan bising imbas dari pengerjaan proyek yang bersebelahan dengan rumah warga.
“Kalau dari awal sebelum pengerjaan, harusnya ada yang datang memeriksa. Jadi begitu kita komplain ada pengaduan, kita tidak dipikir mencari keuntungan. Bisa dilihat ini retak. Kalau rumah kayu pada miring kebanyakan, tidur itu bergetar,” ujar Yati.
Dijelaskan Yati, kejadian retakan ini bukan baru terjadi malam kemarin. Melainkan retakan ini sudah terjadi jauh-jauh hari. Kondisinya semakin diperparah dengan timbulnya retakan baru, saat puncak pengujian beban di terowongan segmen Jalan Kakap di malam itu, Rabu 15 Oktober 2025.
“Kan kelihatan retakan baru, retakan lama kelihatan. Malah Babinsa bilang retakannya lama. Padahal kelihatan retakannya ini lama atau baru,” terang Yati.
Dengan adanya kerusakan ini, warga telah melaporkannya ke Kelurahan dan Dinas PUPR Samarinda, namun tak kunjung ada tindak lanjut.
“Tadi dijanjikan ganti rugi Rp5 juta. Tapi lihat aja kerusakannya, cukup nggak Rp5 juta? Kalau saya solusinya kalau mau perbaiki ini susah, banyak dan panjang. Solusi saya sih mending pembebasan lahan, asal sesuai,” tegas Yati.
Menurutnya, jika ingin dilakukan pembebasan lahan, harus ganti untung bukan ganti rugi dan disesuaikan dengan harga saat ini.
“Disesuaikan aja dengan lebar rumah kondisi rumah. Saya kalau dikasih rendah nggak mau. Rumah saja sekarang 400 lebih yang biasa biasa aja 2 kamar. Rumah saya ini 9 kamar 2 tingkat. Letaknya juga strategis,” terangnya.

Penolakan serupa datang dari warga terdampak lainnya, Risma, 29 tahun, mendesak agar pengerjaan terowongan dihentikan sementara dan fokus pada perbaikan dampak yang terjadi.
“Kita minta dampak-dampak yang ada ini diperbaiki seperti drainase nya di atas kan?, nggak sesuai jalur. Makanya tanah tanah ini longsor,” kata Risma.
Getaran ini kerap dirasakan Risma dan warga lainnya ketika truk semen curah maupun mobil proyek lainnya masuk untuk melakukan pengerjaan di terowongan Samarinda segmen Jalan Kakap ini.
“Setiap hari itu getar karena mobil masuk, di rumah itu getar. Nah waktu malam itu betul-betul seperti gempa, makanya kami marah,” cetus Risma.
Selama proses pengerjaan ini berlangsung, terjadi retakan pada bagian depan rumah dan lantai bawah dapur, bahkan fondasi dapurnya jadi terturun
“Keretakan itu terjadi sejak awal proyek pas ada buldozer itu naik. Memang awalnya retakan kecil aja, cuman lama-lama makin besar. Kemudian renggang di pintu kayu,” jelas Risma.
Dia tegas menolak tawaran uang ganti rugi senilai Rp 5 juta. Menurutnya, jumlah itu tidak sebanding dengan kerusakan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk perbaikan.
“Kalau ganti rugi hanya Rp 5 juta nggak cukup, nggak akan kami terima. Ngangkat barang ke atas aja mahal. Kami nggak akan terima apapun,” tegas dia.
Bagi Risma, solusi yang paling utama bukanlah uang, melainkan perbaikan infrastruktur yang permanen demi menjamin keselamatan dan kenyamanan mereka di masa depan.
“Kita penginnya drainase-nya dibetulkan, kemudian dibikinkan turap supaya tidak getaran. Kalau ada turap menghambat pergerakan tanah. Kita cuman minta itu saja, kita nggak perlu dikasih uang. Mereka aja yang perbaiki,” demikian Risma.
Penulis: Nur Asih Damayanti | Editor: Saud Rosadi
Tag: SamarindaTerowongan