Kaltim Belum Punya Perda Energi Terbarukan, Pakar Sebut Pemda Belum Serius Wujudkan Transisi Energi

Pakar energi dan kebijakan publik Universitas Mulawarman, Dr. Saipul, M.Si, dalam kegiatan Diskusi Publik Forum Wartawan Bisnis (FWB) di Balikpapan (Foto: Putri/Niaga.asia).

BALIKPAPAN.NIAGA.ASIA – Kalimantan Timur hingga kini belum memiliki peraturan daerah (Perda) yang mengatur pengembangan energi terbarukan, meski sudah hampir dua dekade sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Kedua regulasi tersebut menugaskan pemerintah provinsi menyusun kebijakan energi daerah atau Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sebagai turunan dari kebijakan nasional.

Meski demikian, di Kaltim sendiri, aturan itu belum terwujud sehingga arah pembangunan energi bersih masih bergantung pada kebijakan pusat.

Padahal, sebagai provinsi penghasil energi terbesar kedua di Indonesia, Kaltim masih bergantung pada batu bara dan gas alam. Sementara potensi energi baru terbarukan (EBT) seperti surya, air, biomassa, dan limbah sawit belum termanfaatkan optimal.

Pakar kebijakan publik Universitas Mulawarman, Dr. Saipul, M.Si, menyebut belum adanya perda energi mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam menindaklanjuti kebijakan transisi energi nasional.

“Sudah hampir dua dekade sejak lahirnya UU Energi 2007, tetapi sebagian besar daerah, termasuk Kalimantan Timur, belum menyiapkan perangkat hukumnya. Tidak ada keseriusan dari pemerintah daerah untuk benar-benar menjalankan transisi energi,” kata Saiful dalam Diskusi Publik Forum Wartawan Bisnis (FWB) bertajuk “Meneropong 1 Tahun Kemandirian Energi Nasional Era Prabowo-Gibran dari Borneo” di Hitam Manis Heritage, Balikpapan, pada Jumat (17/10/2025).

Menurutnya, pemerintah daerah masih menganggap urusan energi sebagai tanggung jawab pemerintah pusat, padahal kebijakan energi nasional telah membagi kewenangan secara jelas.

“Daerah seharusnya memiliki inisiatif menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan perda pendukungnya sesuai potensi masing-masing wilayah,” sambungnya.

Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, kapasitas pembangkit listrik di provinsi ini mencapai sekitar 2.400 megawatt (MW). Lebih dari 80 persen di antaranya bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.

Sementara itu, kontribusi energi surya baru mencapai 0,8 persen dari total kapasitas pembangkit. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagian besar masih beroperasi dalam skala kecil di wilayah pedalaman seperti Kutai Kartanegara, Berau, dan Mahakam Ulu.

“Radiasi matahari di Kalimantan Timur rata-rata di atas 4,5 kWh per meter persegi per hari. Potensinya besar, tetapi belum ada kebijakan daerah yang serius memfasilitasi pengembangannya,” ucapnya.

Saiful menilai, keterlambatan penyusunan kebijakan energi daerah juga disebabkan lemahnya koordinasi antarinstansi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

“ESDM, Bappeda, PLN, hingga Kementerian Pertanian memiliki peran penting dalam transisi energi, tetapi koordinasinya belum berjalan efektif,” ujarnya.

Ia menjelaskan, Bappenas memiliki peran dalam perencanaan pembangunan hijau, Kementerian ESDM berwenang dalam kebijakan dan perizinan, PLN menangani infrastruktur listrik, sementara Kementerian Pertanian berpotensi mengembangkan bioenergi dari limbah sawit dan hasil pertanian.

“Semua sektor ini perlu berjalan bersama. Misalnya, potensi biomassa di Paser dan Kutai Barat cukup besar, tapi belum terintegrasi dengan kebijakan energi daerah,”terangnya dihadapan awak media.

Ketiadaan kebijakan energi daerah, baginya, berpotensi menimbulkan dampak ekonomi dan sosial di masa depan. Penurunan permintaan batu bara global dikhawatirkan mengurangi pendapatan daerah serta lapangan kerja.

“Tanpa kebijakan energi terbarukan, Kaltim tidak akan siap menghadapi penurunan permintaan batu bara dunia,” tekan Saiful.

Ia mengungkapkan, peluang investasi hijau juga bisa beralih ke provinsi lain yang lebih siap secara regulasi.

“Sementara Kaltim memiliki posisi strategis dan infrastruktur yang mendukung untuk menjadi pusat pengembangan energi bersih di Kalimantan,”

“Transisi energi bukan hanya tentang pengurangan emisi, tapi juga membuka peluang ekonomi baru seperti industri panel surya, biofuel, dan lapangan kerja hijau,” tandas Saiful.

Saiful menegaskan, revisi RUED yang sedang dibahas oleh Pemerintah Provinsi Kaltim harus segera ditindaklanjuti dengan penyusunan perda energi terbarukan agar dapat menjadi pedoman lintas sektor.

“Kalau perda energi disusun dengan komitmen kuat, Kaltim bisa menjadi pionir transisi energi di Kalimantan,” tutupnya.

Penulis : Putri | Editor : Intoniswan.

Tag: