
NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Kantor Imigrasi Nunukan, Kalimantan Utara, membantah tuduhan adanya pungutan liar (Pungli) dalam proses penanganan deportasi terhadap enam warga negara (WN) Malaysia, yang diamankan karena masuk ke pulau Sebatik secara ilegal 22 Oktober lalu.
Uang sebesar Rp 194.000 per orang yang dibayar WN Malaysia adalah pungutan resmi dari Konsulat Malaysia di Pontianak untuk biaya penerbitan Surat Perakuan Cemas (SPC) atau emergency passport, atau semacam SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) yang berlaku di Indonesia.
Kepala Seksi Teknologi dan Informasi (Tikim), Imigrasi Nunukan, Irwan dalam jumpa pers mengatakan, penanganan dan pelaksanaan deportasi 8 WN Malaysia disampaikan secara terbuka atas dasar keterbukaan informasi publik.
“Dari awal penangkapan hingga verifikasi pemeriksaan status kewarganegaran sudah kita sampaikan ke media- media, tidak ada celah pungli,” kata Iwan, Jumat (07/11/2025).
Iwan menerangkan, penangkapan 8 WN Malaysia dilakukan 22 Oktober 2025 di dermaga Lalosalo, Kecamatan Sebatik. Mereka masuk secara ilegal atau tidak melalui tempat pemeriksaan Imigrasi ke wilayah Indonesia.
Dalam proses penanganan dan pemeriksaan perkara, 8 WN Malaysia tersebut mengaku datang ke Sebatik sebatas hendak membeli atau makan bakso dan bertemu dengan keluarga.
Setelah diamankan, para WN Malaysia ditempat di ruang detensi imigrasi Nunukan. Selanjutnya tanggal 28 Oktober 2025 dilakukan deportasi terhadap 2 orang yakni Hassaniah Binti Omar (59) dan W Kamarudin Bin W Ahmad (62), karena keduanya saat masuk ke Sebatik membawa/memiliki kartu identitas sebagai WN Malaysia.
”Hassaniah Binti Omar dan W Kamarudin Bin W Ahmad dideportasi duluan dikarenakan keduanya membawa/memiliki kartu identitas kependudukan Malaysia berupa IC atau semacam KTP dan juga memiliki dokumen paspor yang diterbitkan pemerintah Malaysia,” ujar Iwan.
Sedangkan untuk 6 orang lainnya ditahan di Imigrasi Nunukan, sambil menunggu konfirmasi status kewarganegaraan dari Konsulat Malaysia, yang berkantor Pontianak, Kalimantan Barat. Untuk mendapatkan Surat Perakuan Cemas (SPC) atau emergency passport Malaysia, keenamnya dikenai biaya sebesar Rp 194.000 per orang oleh Konsulat Malaysia di Pontianak.
“Biaya itu aturan dari Konsulat Malaysia, kami Imigrasi hanya menyampaikan kepada masing-masing mereka, jadi uang itu bukanlah pungli,” ujarnya.
Hanya saja, kata Iwan, pembayaran biaya Surat Perakuan Cemas dari Konsulat Malaysia, lebih dulu ditalangi pihak Imigrasi Nunukan, dengan maksud mempermudah proses penerbitan dokumen.
Sebagai bukti adanya transaksi pembayaran, Iwan memperlihatkan lembaran kertas bukti pembayaran yang diminta pihak Konsulat Malaysia. Bukti pembayaran untuk memberikan kepastian kepada para WN Malaysia.
“Soal pembayaran itu kebijakan Malaysia, kita Imigrasi tidak mencampuri urusan, kami sebatas mempermudah dan mempercepat deportasi,” terangnya.
Iwan juga menjelaskan isu pungli lainnya dalam bentuk keharusan membayar biaya transportasi deportasi dari Nunukan ke Tawau, Sabah, Malaysia, yang dibebankan kepada masing-masing WN Malaysia.
Pemerintah Indonesia tidak menjamin biaya dokumen maupun buaya pemulangan tiap warga asing untuk dikembalikan ke negaranya, kalaupun WN Malaysia tersebut tidak memiliki biaya, Imigrasi tetap memberikan waktu selama 30 hari untuk menyiapkan biaya.
“Negara kita hanya menanggung biaya makan dan minum selama proses penahanan, sedangkan biaya-biaya lainnya tetap menjadi tanggungan warga asing,” jelasnya.
Penulis : Budi Anshori | Editor : Intoniswan
Tag: Imigrasi Nunukan