
JAKARTA.NIAGA.ASIA – Lambannya proses perizinan dinilai menjadi salah satu penyebab utama stagnasi produksi minyak dan gas (migas) nasional. Anggota Komisi XII DPR RI, Ateng Sutisna, menilai situasi ini tidak hanya menghambat kinerja kontraktor, tetapi juga membuat potensi energi Indonesia sulit dioptimalkan.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi XII DPR RI dengan Kepala SKK Migas dan 14 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), Ateng menyoroti bahwa persoalan birokrasi dan pembebasan lahan kerap memakan waktu hingga belasan tahun. Akibatnya, sebagian besar masa kontrak kerja justru habis untuk mengurus izin, bukan memproduksi energi.
“Masalah perizinan dan pembebasan lahan ini masih menjadi hambatan untuk percepatan kita melakukan produksi. Contohnya saja, kalau satu KKKS memerlukan waktu 15 atau 17 tahun hanya untuk persiapan produksi, sementara masa produksinya hanya 15 tahun, setengahnya sudah habis untuk urus izin,” ujarnya di Gedung Nusantara I, Senayan Jakarta pada Rabu (12/11/2025).
Ia menambahkan, kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian investasi dan membuat pekerja di lapangan kehilangan motivasi. Beberapa blok migas bahkan tertahan bertahun-tahun sebelum bisa berproduksi.
“Masalah-masalah pembebasan lahan, ini kasihan mereka bekerja sampai berpuluh-puluh tahun tidak produksi. Katakanlah di Papua ada enam blok yang mau kita dorong untuk memulai, jangan-jangan ketika produksi, kita sudah di ruangan ini lagi,” kata politisi Fraksi PKS itu.
Ateng lantas membandingkan proses perizinan di sektor migas dengan sektor mineral. Menurutnya, perusahaan-perusahaan swasta di bidang pertambangan mineral dapat memulai produksi hanya dalam waktu tiga hingga empat tahun, sementara migas membutuhkan waktu jauh lebih lama.
Ia menilai, perbedaan signifikan tersebut perlu dikaji lebih dalam. Kemungkinan penyebabnya adalah aturan yang ketat akibat keterlibatan uang negara dalam skema cost recovery, sehingga kontraktor tidak berani mengambil langkah terobosan dalam percepatan perizinan dan pembebasan lahan.
Ateng mendorong adanya tata ulang sistem perizinan hulu migas. Ia menegaskan, tanpa reformasi regulasi, target peningkatan lifting nasional hanya akan menjadi retorika tanpa hasil nyata.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Djoko Siswanto sependapat dengan pandangan tersebut. Ia menyebut, hambatan utama yang dialami seluruh KKKS hampir serupa: panjangnya rantai perizinan lintas kementerian dan lembaga, terutama dalam pengurusan izin penggunaan kawasan hutan dan dokumen lingkungan.
“Di setiap K3S permasalahannya sama. Itu adalah nomor satu, misalnya izin PPKH dari Kementerian Kehutanan, izin penetapan lokasi, kemudian AMDAL, UKL-UPL, dan lain-lain,” jelas Djoko dalam rapat.
Djoko mendorong agar DPR dan pemerintah dapat menyusun payung hukum yang memungkinkan percepatan izin operasi migas tanpa mengurangi aspek kehati-hatian dan pengawasan lingkungan. Menurutnya, simplifikasi izin akan membuka ruang investasi baru sekaligus mempercepat realisasi produksi migas nasional.
Dilansir dari media massa, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menyatakan bahwa pemerintah telah mulai melakukan penyederhanaan proses perizinan terutama pada tahap penyediaan lahan. Ia menyebut, penyederhanaan dilakukan melalui sistem Online Single Submission (OSS) untuk memangkas waktu dan tahapan administrasi.
“Untuk proses perizinan, ya kita juga melakukan penyederhanaan. Biasanya yang menjadi permasalahan adalah yang terkait dengan penyediaan lahan,” ujarnya beberapa waktu lalu, sebagaimana dikutip dari CNBC.
Yuliot menambahkan, apabila suatu wilayah telah ditetapkan sebagai wilayah kerja migas, maka konfirmasi ketersediaan lahan kini diterbitkan secara otomatis melalui OSS. Mekanisme ini diharapkan dapat mempercepat proses eksplorasi dan eksploitasi tanpa mengorbankan aspek legalitas.
Sumber: Humas DPR RI | Editor: Intoniswan
Tag: MigasPerizinan