Rendahnya Literasi Digital Penyebab Perempuan Rentan Jadi Korban Kekerasan Online

Foto bersama peserta seminar Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang digelar di Aula Inspektorat Kaltim, Selasa (25/11/2025). (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Kasus kekerasan berbasis digital yang menimpa perempuan di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) semakin mengkhawatirkan. Minimnya literasi digital disebut menjadi salah satu penyebab utama perempuan lebih rentan menjadi korban.

Hal itu menjadi perhatian utama Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kaltim, Noryani Sorayalita, dalam Seminar Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang digelar di Aula Inspektorat Kaltim, Selasa (25/11/2025).

Noryani menegaskan bahwa peningkatan teknologi informasi seharusnya bisa diiringi dengan kemampuan penggunanya, terutama perempuan agar memahami risiko dan etika penggunaan gawai serta media sosial.

Sayangnya, kondisi di lapangan menunjukkan masih banyak perempuan yang aktif di ruang digital tanpa bekal literasi digital yang baik.

“Banyak perempuan menggunakan media sosial tanpa memahami risiko-risikonya. Itu membuat mereka lebih rentan menjadi korban kekerasan digital,” ujarnya.

Atas dasar itu, tema kekerasan digital dipilih untuk mengingatkan bahwa dunia digital itu bukan hanya sekadar ruang ekspresi, tetapi juga ruang yang menyimpan ancaman.

Berdasarkan pemantauan DKP3A, kekerasan digital di Provinsi Kaltim tidak lagi terbatas pada ujaran kebencian atau komentar tidak pantas. Bentuknya kini semakin variatif, mulai dari perundungan atau bullying, grooming, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga pelecehan seksual daring.

“Macam-macam bentuknya. Ada bullying, grooming, sampai pelecehan. Untungnya sekarang UU TPKS sudah mengatur lebih jelas,” jelasnya.

Meski demikian, ia menilai regulasi hanya akan efektif jika diikuti kesadaran masyarakat untuk lebih hati-hati dan bertanggung jawab saat beraktivitas di ruang digital.

Tak hanya itu, ia juga mengkritisi kebiasaan sebagian pengguna yang telah menormalkan konten atau perilaku digital tertentu. Padahal, sesuatu yang dianggap ‘biasa’ oleh satu orang bisa menjadi tekanan atau kekerasan bagi orang lain.

“Kita sering pikir itu hal kecil, padahal bisa berdampak besar bagi orang lain. Karena itu penting untuk tidak menormalkan sesuatu hanya berdasarkan sudut pandang kita,” terangnya.

Dia juga menekankan bahwa setiap unggahan, komentar, maupun tindakan daring harus dipikirkan dampaknya. Kesalahan memahami konten dapat membuat seseorang tanpa sadar menjadi pelaku maupun korban.

“Jangan sampai kita menjadi korban maupun pelaku dari kekerasan tersebut,” pesannya.

Ditegaskan Noryani, pencegahan kekerasan digital tidak cukup hanya dengan imbauan. Perempuan di Kaltim perlu dibekali literasi dan keterampilan digital yang kuat. Sementara masyarakat luas diminta untuk lebih peka dan responsif terhadap berbagai bentuk kekerasan di ruang online.

“Kami ingin membangun kesadaran bahwa literasi digital ini bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan. Ini pelindung utama kita di ruang digital,” pungkasnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | Advertorial Diskominfo Kaltim

Tag: