Anak-anak Ini Menemukan Kembali Semangat Bersekolah di Sekolah Rakyat

Ardinaza dan Farel tampak berbincang santai dengan teman sekamarnya Sekolah Rakyat, tempat mereka kini menata kembali masa depan. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Bagi sebagian orang, sekolah adalah tempat untuk menuntut ilmu. Namun bagi Ahmad Faris, Muhammad Farel Aksani dan Ardinaza Jama, ketiga siswa yang berasal dari Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT)  Kalimantan Timur di Samarinda, sekolah bukan hanya sekadar ruang belajar, melainkan kesempatan kedua untuk memperbaiki hidup.

Ketiganya datang dari latar belakang berbeda. Ada yang sempat berhenti karena kemiskinan, ada yang putus sekolah akibat perundungan, bahkan ada pula yang kehilangan semangat dan tujuan setelah menghadapi masalah di sekolah sebelumnya.

Namun di bawah atap sederhana sekolah rakyat yang digagas oleh Presiden RI Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, mereka menemukan kembali semangat bersekolah, arti hidup, serta keyakinan bahwa masa depan masih bisa diperjuangkan.

Di Sekolah Rakyat ini lah, setiap pagi dimulai bukan dari dering bel sekolah, tetapi diawali dengan suara adzan subuh dan langkah kaki anak-anak yang bergegas ke musala kecil di dalam asrama. Setelah itu, mereka menata tempat tidur, mencuci pakaian sendiri, lalu bersiap mengikuti pelajaran.

Sekolah rakyat memang dirancang bukan hanya untuk mengajar, tapi juga membentuk karakter generasi penerus yang lebih baik lagi. Setiap siswanya diajarkan untuk mandiri, dari hal kecil seperti merapikan kamar hingga menjaga sopan santun kepada teman dan guru.

Ahmad Faris. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Ahmad Faris, siswa kelas 7 Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) ke-24 Kota Samarinda yang berlokasi di Gedung BPMP Kaltim, Jalan Cipto Mangunkusumo, mengaku sempat dua tahun berhenti sekolah. Anak lelaki berusia 15 tahun ini juga sempat menjadi korban olok-olok karena tubuhnya gemuk.

“Berhenti gara-gara enggak ada uang buat bayar-bayar buku, baju, karena dibully juga. Diolok-olokin gendut. Sampai dipukul juga,” ujarnya pelan dalam bincang-bincang dengan Niaga.Asia, Selasa (7/10).

Pengalaman itu membuatnya trauma dan enggan kembali ke sekolah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama sang ibu, seorang tukang urut, sementara ayahnya sudah lama tidak diketahui keberadaannya.

“Bapak nggak tau kemana,” ucap Faris seraya mengelap air mata yang jatuh dipipinya.

Kini, Faris kembali bisa tersenyum. Di SRT ke-24 Samarinda, ia merasa diterima apa adanya. Suasana di SRT terasa seperti keluarga baru, tempat ia bisa tumbuh tanpa rasa takut dan dihargai bukan karena penampilannya, tetapi karena usaha dan sikapnya.

“Kalau di sini baik teman-temannya, sopan-sopan juga,” katanya dengan mata berbinar.

Sekolah Rakyat Terintegrasi ke-58 Provinsi Kaltim yang berlokasi di SMAN 16 Samarinda, Jalan Perjuangan. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Segala kebutuhan dasar kata dia, disediakan oleh pihak sekolah. Ada kipas, tilam, handuk, selimut, guling, bantal, sabun, sabun cuci baju, termasuk makan tiga kali sehari dan banyak fasilitas lainnya yang telah disediakan oleh pemerintah.

“Semuanya dapat. Makan juga dapat, enak-enak,” bebernya dengan nada ringan, seolah tak percaya bahwa kini dirinya bisa belajar tanpa khawatir soal biaya.

Meskipun sempat tertinggal dua tahun dari teman-teman seusianya, Faris yang punya cita-cita besar menjadi pilot ini bertekad tak akan menyerah lagi. Ia kembali belajar di kelas 1 SMP dan bertekad mengejar ketertinggalan.

Sementara itu, Muhammad Farel Aksani, salah satu siswa kelas 10 SRT ke-58 Provinsi Kaltim yang berlokasi di SMAN 16 Samarinda, Jalan Perjuangan, mengaku baru seminggu tinggal di asrama. Ia tinggal sekamar bersama dua hingga tiga siswa lain.

“Ada yang tiga orang, ada yang dua. Maksimal empat orang,” tambahnya, Rabu (8/10).

Farel, sapaan akrabnya, sempat belajar di SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Balikpapan untuk menempuh Paket C. Namun karena adanya permasalahan dengan gurunya, ia akhirnya berhenti sekolah selama setengah tahun sebelum akhirnya diterima di Sekolah Rakyat.

“Di sini nyaman sekali. Makannya juga teratur. Tiga kali sehari, kadang ada snack-nya juga. Biasanya makanannya nasi kuning, ada nasi goreng, sama ayam, telur, ikan, nasi putih, sayur, macam-macam bervariasi,” terangnya.

Anak sulung dari lima bersaudara ini memiliki tekad yang kuat untuk membanggakan orang tuanya. Ayah dan ibunya masih lengkap, sang ibu berjualan gorengan keliling untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Farel yang bercita-cita menjadi polisi itu pun menuturkan, kehidupannya kini jauh lebih teratur. Menurutnya, Sekolah Rakyat bukan hanya tempat belajar, tapi ruang untuk menata ulang hidup dan menyalakan kembali cita-cita yang sempat padam.

“Saya mau serius sekolah, biar bisa banggain mama dan bapak, naikin derajat orang tua,” jelasnya dengan mantap.

Tak jauh berbeda dengan Farel, Ardinaza Jama juga punya kisah yang mengharukan. Siswa kelas 10 berusia 16 tahun di Sekolah SRT ke-58 Provinsi Kaltim ini berasal dari Sangatta, Kabupaten Kutai Timur.

Muhammad Farel Aksani dan Ardinaza Jama. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Ardinaza, memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Rakyat karena keterbatasan biaya. Ayah dan ibunya masih tinggal di Sangatta dan bekerja serabutan, kadang-kadang menjadi penombak sawit.

Penghasilan yang tidak tetap itu membuat keluarga sulit menanggung biaya sekolah, sehingga kesempatan masuk Sekolah Rakyat menjadi jalan keluar bagi Ardinaza untuk tetap melanjutkan pendidikan.

Di tempat barunya ini, Ardinaza bisa belajar tanpa harus membebani orang tua. Semua kebutuhannya, mulai dari tempat tinggal dan makan, hingga perlengkapan belajar, sudah disediakan oleh pihak sekolah. Sehingga ia bisa fokus belajar tanpa khawatir soal biaya.

“Kalau untuk masuk ke sini, kemarin berkat bantuan petugas dari kantor desa, ditawari. Alhamdulillah bisa sekolah di sini,” imbuhnya.

Selama sebulan tinggal di asrama sejak September 2025, Ardinaza yang punya cita-cita menjadi pemadam kebakaran ini merasa sangat betah. Suasana sekolah yang akrab membuatnya cepat menyesuaikan diri. Setiap malam, ia juga sudah terbiasa dengan aturan untuk disiplin dan menjaga kesehatan.

“Nyaman sekali. Teman-temannya asik dan baik, guru-guru serta pengawas asrama juga baik. Setiap malam selalu diingatkan, jangan bergadang, jangan merokok. Tidur jam 10 malam, itu selalu diingatkan setiap malam,” pungkasnya. 

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: