Editorial Niaga.Asia

Rakyat menunjukkan secara terang benderang kebenciannya terhadap lembaga DPR RI dan sejumlah anggota DPR. Puluhan ribu orang menggeruduk atau unjuk perasaan di pintu gerbang DPR RI. Wakil Presiden ke 10 dan ke 12 RI, Jusuf Kalla dalam pernyataan persnya mengatakan dan meyakini, penyebab DPR RI didemo, karena anggota DPR bicara asal-asal dan menghina rakyat.
Sebetulnya ketidaksukaan rakyat terhadap anggota dan lembaga DPR sudah terlihat seusai Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraan di Rapat Paripurna MPR tanggal 16 Agustus, dimana rapat diakhiri anggota DPR/MPR berjoget-joget di ruangan yang selama ini dipandang semua orang sebagai ruangan yang sakral, tempat dimana pemimpin seharusnya berkhidmat, tempat musyawarah bagaimana mensejahterakan rakyat, bukan tempat menumpahkan sikap hedon.
Adanya anggota DPR bicara asal-asalan dan bekerja, serta pamer sebagai penyandang disabilitas intelektual sudah nampak dalam lima tahun terakhir, diawali pemerintahan Jokowi periode ke-2 dan berlanjut hingga kini, sebagaimana diperlihatkan Ahmad Sahroni dan Sufmi Dasco Ahmad.
Ahmad Sahroni mengatakan massa yang menuntut DPR dibubarkan adalah orang tolol. Apakah orang yang menuntut DPR dibubarkan benar-benar orang tolol, belum tentu benar-benar tolol, karena masih bisa diperdebatkan.
DPR memang benar lembaga permanen dan ada di semua negera, baik di negara demokrasi maupun totaliter, tapi anggota DPR tidaklah permanen, ada periodesasinya. Anggota DPR sekarang ini adalah anggota DPR Periode 2024-2029. Apakah mereka itu bisa dibubarkan, ya logikanya bisa saja dengan menerbitkan UU Pemilu Legislatif Dipercepat atau dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU untuk mempercepat Pileg atau yang kita kenal di AS sebagai Pemilu sela.
Jadi, perkataan Sahroni yang menyebut massa yang menuntut DPR dibubarkan adalah orang tolol, dengan sendirinya tidaklah mengandung kebenaran sebab, cukup banyak negara yang menerapkan Pemilu sela untuk mendapatkan anggota DPR yang berkualitas dan akuntabel, kompeten. Kalau partai politik dan presiden sama-sama berkehendak, bisa saja anggota DPR yang ada sekarang dibubarkan dengan menyelenggarakan Pemilu sela, dimana periodesasi anggota DPR terpilih di Pemilu sela tetap hingga tahun 2029.
Tanggapan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad terkait tunjangan perumahan tiap bulan bagi anggota DPR sebesar Rp50 juta, terasa tak masuk akal. Kalau tunjangan tersebut secara administratif adalah bulanan, maka setiap anggota DPR Periode 2024-2029 menerima tunjangan perumahan untuk 60 bulan atau 5 tahun Rp3 miliar, yang dibayarkan per bulan.
Bagaimana logikanya, tiba-tiba kemudian Sufmi Dasco Ahmad mengatakan kepada publik, tunjangan perumahan yang diterima anggota DPR setiap bulan sejak dari Oktober 2024, hanya diberikan sampai Oktober 2025, setelah itu hingga Oktober 2029, atau selama 48 bulan anggota DPR tak diberi lagi tunjangan perumahan.
Apakah masuk akal selama 48 bulan ke depan, anggota DPR yang tidak memiliki rumah di Jakarta dan sekitarnya, menyewa rumah dari uang pribadi masing-masing, atau kalau tidak punya cukup uang tidur di kantor DPR RI.
Sesuai periodesasi anggaran, alokasi anggaran untuk tunjangan perumahan anggota DPR di APBN-Murni 2025 habis pada bulan Oktober, tapi nanti dilanjutkan anggaran serupa disediakan di APBN-Perubahan 2025 untuk tunjangan perumahan hingga Oktober 2026.
Anggota DPR dianggap masyarakat tidak hanya bicara asal-asalan, tapi juga kerja asal-asalan dalam mengesahkan UU, misalnya merevisi UU KPK super cepat tanpa konsultasi publik, UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba dan banyak lainnya.
Berbagai tunjangan yang diberikan pemerintah kepada anggota DPR RI sebetulnya melampaui yang dibutuhkan saat melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan, dan fungsi anggaran. Pengeluaran pemerintah untuk anggota DPR RI menjadi besar, karena pemerintah memberikan uang atau mengongkosi anggota DPR terpilih kembali di Pemilu yang akan datang.
Anggota DPR RI seolah-seolah bekerja untuk seluruh rakyat, tapi riilnya hanya bekerja untuk 125.000 hingga 150.000, atau paling banyak 300.000 orang, yang mereka sebuat sebagai konstituennya. Untuk memelihara konstituennya itu, anggota DPR memakai uang yang berasal dari pajak rakyat.
Tag: EditorialOpiniOpini Redaksi