Cinta Lokasi Semasa Kuliah

Cerpen Karya: Efrinaldi

Ilustrasi

Tahun 1988 aku mengambil tugas akhir sarjana di bidang teknologi farmasi. Pebimbingku bernama Prof. Dr. Fauzi Sjuib. Beliau lulusan S-3 Amerika. Beliau sangat pintar. Kalau mengajar memberikan kunci-kunci ilmu saja dan memberikan referensi yang bisa dipelajari mahasiswa sendiri. Aku meneliti di bidang biofarmasi. Bidang itu relatif baru di masa itu (1980-an).

Sewaktu tugas akhir I, aku menelusuri pustaka Ketersediaan Hayati Larutan Kuinina HCl pada Kelinci. Latar belakang ilmu farmakoninetika aku pelajari tuntas. Rumus-rumus matematetika pemodelan nasib obat aku turunkan satu per satu dengan memakai beberapa referensi. Di akhir semester, aku menghadap Pak Fauzi. Beliau membalik-balik draft tugas akhirku. Beliau bertanya satu saja padaku.

“Coba kamu jelaskan tentang persamaan luas di bawah kurva di fase eliminasi.”

“Baik, Pak.” jawabku.

Dengan lancar aku turunkan persamaannya. Pak Fauzi mengangguk-angguk.

“Kamu benar! Cukup, tugas akhirmu saya terima. Tulislah dengan benar tugas akhirmu. Perhatikan EYD!” tukas Pak Fauzi.

“Terima kasih, Pak,” ujarku sambil mengemasi berkas-berkasku.”Saya akan rapikan tugas akhir saya dengan sebaik mungkin, Pak. Kalau sudah selesai saya akan kembali menghadap Bapak.” lanjutku.

Pak Fauzi tersenyum. Beliau menepuk bahuku sebelum aku beranjak dari kantor beliau.

Aku mendapat nilai A di tugas akhir I itu. Puas rasanya.

Ada empat orang menjadi mahasiswa bimbingan Pak Fauzi di S-1, yaitu aku, Utari, Uli dan Rini. Aku dan Uli meneliti di bidang biofamasi. Utari dan Rini meneliti bidang stabilitas. Semester berikutnya mulailah aku bersama teman-temanku melakukan penelitian laboratorium.

Aku bekerja siang malam di laboratorium. Sering aku pulang dari laboratorium jam 12 malam karena pengambilan sampel darah kelinci terakhir jam 11 malam. Teman-temanku yang lain juga demikian, baik yang di bidang biofarmasi maupun stabilitas sama-sama memerlukan data pada pengamatan sampai larut malam.

Rupanya terjadi cinta lokasi. Aku tertarik pada Dini. Rupanya dilihat oleh Utari. Suatu sore di laboratorium Utari berkata padaku.

“Pi, nanti malam ada acara Ludruk ITB di Gedung Serba Guna  ITB. Kita nonton, yuk. Aku akan mengajak Dini.”

Berdesir darahku. Aku memang naksir Dini. Dini adalah teman sekelasku, sahabatku dan juga sahabat Utari. Dini berwajah mirip Betharia Sonata. Kulitnya putih. Rambutnya pirang dan dibiarkan terurai sebahu. Dia suka memakai rok bermotif bunga kecil-kecil dan memakai blouse katun berwarna pastel.

Inilah kesempatan buatku bertemu di suasana lain,  batinku. Selama ini kami bertemu di bangku kuliah dan laboratorium saja.

“OK!” sahutku. “Kita bertemu di depan GSG saja.” lanjutku.

Malamnya kami bertemu di depan GSG. Aku, Dini  dan Utari masuk gedung. Tidak lama mulailah pertunjukan itu.

Kami duduk berdampingan, aku, Dini dan Utari. Selama di dalam gedung aku diam saja. Tidak ada obrolan apapun. Tiba-tiba Rini dan Utari berdiri. Tanpa berkata-kata apa-apa mereka berdua ke luar gedung. Aku kaget bercampur heran. Aku mengikuti mereka yang berjalan cepat. Setelah di luar gedung aku bertanya, “Kok pergi? Mau kemana?

“Kami mau pulang.” sahut Utari.

“Oh, kalau begitu biar aku antar pulang.” kataku.

Tanpa menjawab mereka bergegas pergi. Aku ikuti. Akhirnya kami berjalan berdekatan sampai rumah Utari. Utari masuk rumah kostnya. Aku dan Dini berdua ke rumah Dini. Sepanjang perjalanan aku dan Dini diam seribu bahasa. Sampai di pintu pagar tempat kost, Dini berujar.

“Selamat malam! Terima kasih telah mengantarkan aku sampai rumah.”

“Selamat malam!. Sampai ketemu besok.” jawabku.

Dalam perjalan pulang ke asramaku aku berpikir keras. Apa sebenarnya yang terjadi. Apa salahku?  batinku.

Besoknya aku bertemu Dini di kampus. Dini  berkata padaku dengan muka tegak dan terlihat sungguh-sungguh.

“Pi, kita tidak cocok. Aku akan mencari lelaki yang lebih tua umurnya dariku. Kamu cari saja wanita lain.”

Aku terdiam. Lama hening, akhirnya aku berkata, “Baiklah, Dini. Kita sebatas teman saja.” ujarku.

*

Aku, Rini, Uli dan Utari menyelesaikan tugas akhir II dalam satu semester. Waktu tercepat untuk mengerjakan tugas akhir II di masa itu. Kami berempat mendapat nilai B untuk tugas akhir II.

Aku meraih gelar sarjana farmasi dalam masa 5,5 tahun kuliah. Itu bukan masa tercepat, namun termasuk cepat di masa itu untuk bisa lulus sarjana di ITB.

Aku langsung melanjutkan ke Program Profesi (Apoteker). Setahun kemudian aku meraih gelar apoteker.@

*) Catatan, kesamaan nama dalam cerpen ini adalah fiktif.

Tag: