
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Dugaan malpraktik di Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) Samarinda yang dialami Ria Khairunnisa (35), warga Samarinda yang sempat dirawat karena diare dan muntah, kini menjadi sorotan Legislator Kalimantan Timur (Kaltim).
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Andi Satya Adi Saputra, menegaskan pentingnya kajian mendalam dan penelusuran detail terhadap prosedur medis yang dijalankan pihak rumah sakit.
“Dengan dugaan malpraktik kedokteran, itu kalau kita bagi lagi berdasarkan definisinya, malpraktik itu merupakan praktik buruk atau kesalahan pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lainnya yang menyebabkan kerugian pada pasien,” terang Andi Satya kepada Niaga.Asia, Sabtu malam (10/5).
Politikus muda yang juga seorang dokter ini menjelaskan bahwa dugaan malpraktik bukan hal yang bisa ditanggapi secara gegabah. Ia meminta agar semua pihak dapat menunggu klarifikasi resmi dan dokumen pendukung dari rumah sakit.
“Tentu ini tidak bisa kita terlalu sembrono. Kita harus menelaah seperti apa. Tentu kita akan minta klarifikasi. Yang pertama, apabila sudah kasus malpraktik, maka kasusnya akan menjadi pidana,” ujarnya.
Informed Consent adalah Kunci
Menurut Andi Satya, salah satu aspek paling krusial dalam kasus ini adalah keberadaan dokumen persetujuan tindakan medis atau informed consent. Ia menekankan bahwa dokumen ini wajib sebelum setiap tindakan medis dilakukan, terutama operasi.
“Agar ini tidak terulang lagi, bahwa setiap operasi dan prosedur medis itu jangan lupa harus ada namanya persetujuan tindakan medis atau informed consent. Informed consent itu wajib sebelum operasi,” jelasnya.
Dokumen informed consent ini, lanjutnya, harus memuat penjelasan dokter mengenai prosedur yang akan dilakukan, alasan medis tindakan tersebut, potensi risiko jika tidak dilakukan, dan kesediaan pasien untuk menjalani tindakan.
“Informed consent itu isinya adalah bagaimana dokter menjelaskan kepada pasien, prosedur apa yang akan dilakukan, kenapa akan dibikin itu, dan akibat apa yang terjadi apabila tidak dilakukan. Dan terakhir, pasien setuju enggak untuk operasi,” urainya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa dokumen tersebut harus ditandatangani oleh tiga pihak, yakni pasien, dokter, dan seorang saksi. Jika salah satu tidak ada, maka tindakan medis bisa dianggap melanggar hukum.
“Apabila di situ tidak ada, misal ternyata pada saat kasus di RSHD ini tidak ada informed consent, wah, jelas itu malpraktik. Itu pidana. Tindakan medis yang tanpa persetujuan tidak boleh,” tegasnya.
Namun demikian, jika dokumen persetujuan tersebut ada, maka langkah berikutnya adalah menelaah apakah penjelasan dokter saat itu sudah sesuai prosedur dan apakah pasien memahaminya secara utuh.
“Tapi kalau ada informed consent-nya, ya kita lihat. Kok bisa ada persetujuannya, berarti pasien setuju untuk dioperasi. Apakah dulu penjelasannya benar atau tidak, dan lain sebagainya. Tentu itu perlu digali lebih lanjut lagi. Saya tidak bisa berkomentar di situ,” imbuhnya.
Evaluasi Laporan Operasi
Selain informed consent, menurut Andi Satya, dokumen penting lain yang harus ditelusuri adalah laporan operasi. Ia mengatakan, setiap operasi harus diikuti dengan laporan resmi dari dokter, yang memuat indikasi medis, jalannya prosedur, dan temuan pasca-operasi.
“Dan kita lihat lagi nanti laporan operasinya seperti apa. Kan dokter setelah selesai operasi akan menulis yang namanya laporan operasi. Apa indikasi operasinya dan laporan operasinya tentu harus ditelaah juga,” katanya.
“Apa isinya, kenapa dioperasi, seperti apa jalannya operasi, temuannya apa, betulkah usus buntu, dan lain sebagainya. Itu harus dibuktikan,” pungkasnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | ADV DPRD Kaltim
Tag: KesehatanMalpraktik