Fenomena Gunung Es Kecelakaan Kerja: Pelajaran dari Dunia Laboratorium

Penulis: Rahmadi

Rahmadi (Dokumentasi Pribadi)

KECELAKAAN kerja pada umumnya hanya terlihat dari permukaan. Berita yang sampai ke masyarakat biasanya adalah insiden besar yang merenggut korban jiwa, sementara realitas yang tersembunyi jauh lebih kompleks.

Fenomena ini sering dianalogikan dengan “gunung es”, di mana bagian kecil yang muncul di atas laut hanyalah permukaan dari masalah yang sesungguhnya.

Sebagai seorang tenaga laboratorium yang telah bekerja belasan tahun, dan kini tengah menempuh pendidikan Magister di Fakultas Kesehatan Masyarakat, saya melihat langsung bagaimana banyak peristiwa kecelakaan kerja yang tidak pernah terlaporkan. Tabung reaksi yang jatuh, percikan bahan kimia yang tak dilaporkan, hingga tertusuk jarum suntik, semuanya adalah bagian dari “gunung es” yang sering diabaikan di ruang kerja laboratorium.

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) seharusnya hadir bukan sekadar untuk memenuhi regulasi, tetapi untuk membentuk budaya keselamatan yang melekat pada setiap pekerja.

Di laboratorium, bahaya tidak selalu hadir dalam bentuk yang dramatis. Jarang terdengar ledakan besar atau tumpahan zat berbahaya yang menimbulkan kehebohan, tetapi ancaman nyata datang dalam bentuk paparan kimia jangka panjang, postur kerja yang tidak ergonomis, serta kebiasaan mengambil jalan pintas demi efisiensi. Semua itu perlahan-lahan merusak kesehatan tanpa disadari.

Gunung es kecelakaan kerja menunjukkan bahwa peristiwa yang “tidak kelihatan” sebenarnya jauh lebih berbahaya.

Data Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) memperkirakan, untuk setiap kecelakaan kerja yang berakibat fatal, terdapat ratusan insiden kecelakaan ringan dan ribuan kondisi berbahaya yang tidak dilaporkan. Jika hal ini dibiarkan, organisasi hanya bereaksi setelah ada korban nyata, bukan mencegah sejak dini.

Sebagai gambaran, saya pernah menyaksikan rekan kerja mengalami luka bakar ringan akibat tetesan larutan asam kuat. Kejadian ini tidak pernah masuk dalam laporan resmi karena dianggap “sepele”. Namun, apa jadinya jika insiden serupa terulang dan mengenai orang lain dengan kondisi yang lebih parah? Hal ini menunjukkan lemahnya kesadaran dan penerapan SMK3, bukan karena sistem tidak ada, melainkan karena budaya pelaporan yang masih rendah.

Selain itu, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) kerap dianggap beban. Masker dilepas saat merasa pengap, sarung tangan ditanggalkan ketika pekerjaan menuntut kecepatan. Di sinilah letak masalah, manusia sering mencari jalan pintas demi kenyamanan, padahal konsekuensinya bisa fatal. Tanpa pembiasaan dan pengawasan, aturan keselamatan hanya berhenti di papan pengumuman.

Ada yang berpendapat bahwa pelatihan rutin dan kepatuhan terhadap Standard Operating Procedure (SOP) sudah cukup untuk mencegah kecelakaan. Namun, pandangan ini terlalu optimistis.

Fakta di lapangan membuktikan bahwa pelatihan tidak menjamin perubahan perilaku bila tidak dibarengi dengan budaya keselamatan. Banyak tenaga kerja hadir dalam pelatihan, mencatat, bahkan lulus uji kompetensi, tetapi di lapangan tetap mengabaikan praktik sederhana. SMK3 bukan hanya sekadar tumpukan berkas, melainkan harus hidup dalam perilaku sehari-hari.

Sebagai mahasiswa Magister, saya melihat SMK3 dari perspektif kesehatan masyarakat yang mengutamakan pencegahan. Namun, sebagai praktisi laboratorium, saya memahami dilema pekerja yang dihadapkan pada rutinitas pekerjaan teknis, keterbatasan fasilitas, serta tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Kecelakaan kerja sering kali muncul bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena kompromi antara keselamatan dan produktivitas.

Di sinilah manajemen berperan penting. Keselamatan harus ditempatkan sejajar dengan produktivitas, bukan sebagai pilihan tambahan. Investasi pada keselamatan sering dianggap mahal, tetapi justru jauh lebih murah dibandingkan biaya kompensasi, hilangnya produktivitas, dan kerusakan reputasi akibat kecelakaan besar.

Fenomena gunung es dalam kecelakaan kerja di dunia laboratorium, mengajarkan kita bahwa yang tampak hanyalah bagian kecil dari masalah yang tersembunyi. SMK3 harus dipahami sebagai upaya membangun budaya, bukan sekadar memenuhi regulasi. Setiap insiden kecil perlu dicatat, dianalisis, dan dijadikan pelajaran. Dengan demikian, kecelakaan besar dapat dicegah, kesehatan pekerja terlindungi, dan organisasi mampu menciptakan lingkungan kerja yang berkelanjutan.

Saya meyakini bahwa perubahan tidak dimulai dari aturan tertulis semata, tetapi dari kesadaran individu yang diperkuat oleh komitmen manajemen. Laboratorium, sebagai tempat lahirnya ilmu pengetahuan, seharusnya menjadi teladan dalam megutamakan keselamatan. Jangan biarkan gunung es kecelakaan kerja membeku dalam diam, karena di bawah permukaannya, bahaya selalu menunggu.

*) Penulis adalah mahasiswa Magister Fakutltas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman

Tag: