Catatan Syafruddin Pernyata

Kadang ketika saya menatap hutan-hutan yang tersisa di Kaltim, saya merasa seolah sedang membaca riwayat panjang tentang kejayaan yang pernah begitu dekat, tetapi kini hanya menjadi gema jauh.
Dulu, saat dunia masih percaya pada emas yang tumbuh dari tanah, log—kayu bundar—meluncur dari lereng-lereng sepi menuju pelabuhan. Dari dermaga itulah mereka berangkat ke negeri yang bahkan tak pernah melihat mata para penebang. Tetapi seperti gema yang perlahan kehilangan dinding pantul, kemegahan itu memudar.
Ada masanya kita merasa kayu bisa pergi terus-menerus tanpa berpamitan. Hingga akhirnya sungai-sungai Mahakam menegur kita lewat suara mesin kayu lapis. Batang-batang berubah menjadi lembaran, hutan berubah menjadi angka. Dan angka, seperti biasa, tidak punya kemampuan merasakan kehilangan.
Lalu cahaya lain datang—lebih gelap tetapi lebih memabukkan: batu bara. Kini puntun-puntun batu bara di bawah Jembatan Mahkota berdiri seperti pasukan malam. Diam. Gelap. Tetapi penuh gairah ekonomi yang deras mengalir ke pasar yang tak pernah tahu wajah para penambangnya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, sawit merayap seperti gelombang yang tak pernah letih. Angka BPS yang mencatat 1,49 juta hektare kebun sawit dan belasan juta ton TBS tiap tahun terdengar seperti kabar kemenangan. Namun saya tahu, di balik angka itu ada hutan yang kehilangan bisikan angin, kehilangan lutung yang dulu berayun seperti doa di antara dahan.
Di perut bumi, nama Kaltim kembali disebut-sebut lewat LNG. Kilang Bontang berdiri seperti raksasa yang bernapas pelan tetapi pasti, kapasitasnya melampaui banyak saudara tuanya di Aceh dan Riau. Industri itu seperti mercusuar yang tak pernah padam—meski kita tak tahu siapa yang sebenarnya mendapat terang dari cahayanya.
Di titik inilah sebuah pertanyaan mendekat kepada kita seperti mata yang tak berkedip:
Sudahkah rakyat Kaltim sejahtera?
Pertanyaan sederhana, tetapi seperti sumur yang tak pernah kita lihat dasarnya.
Sementara itu, dari Sumatra, kabar duka datang bersama bau tanah basah setelah banjir. Lebih dari 60 jiwa hilang—nama-nama yang terus diperbarui seakan alam sedang membuka lembaran baru dari buku kehilangan nasional. Tragedi itu bukan sekadar peristiwa; ia adalah teguran langit yang merambah seluruh Nusantara, termasuk kepada kita di Kalimantan.
Kaltim juga pernah merasakan teguran itu, meski tidak seinjak Sumatra. Tetapi bagi saya, satu nyawa yang hilang saja sudah merupakan dunia yang runtuh. Dan dunia yang runtuh tidak bisa ditebus dengan sepuluh, seratus, atau seribu ponton batu bara.
Maka saya merasa, sudah waktunya pemerintah—dan kita semua—menata ulang cara kita memperlakukan bumi. Kita tak bisa terus-menerus meminta bumi memberi tanpa mengajarinya cara sembuh. Tata kelola alam harus diperhalus kembali, agar tanah yang selama ini menghidupi kita tidak tiba-tiba berubah menjadi mulut raksasa yang menelan mereka yang tak bersalah.
Pada akhirnya, setiap bentuk kemajuan hanya benar jika tidak mengorbankan anak-anak bumi tempat kemajuan itu berdiri. Dan kontemplasi ini kembali berbisik pelan: Apakah kita masih mampu mendengar suara alam sebelum ia meninggi menjadi amarah?
*) Penulis adalah Ketua Gerakan Pembudayaan Minat Baca ((GPMB) Kaltim dan Penulis novel Lelaki Kampong Aer.
Tag: HutanOpini