
SAMARINDA.NIAGA.ASIA– Diperlukanupaya yang lebih kuat dan konsisten dari Pemerintah Kalimantan Timur (Kaltim) agar target penurunan stunting dan wasting yang diinginkan dapat tercapai.
Dalam rancangan RPJPD Kaltim 2025-2045, Pemerintah Kalimantan Timur menargetkan angka prevalensi stunting di Kaltim di kisaran 11 persen di tahun 2025. Sedangkan angka balita wasting pada tahun 2023, masih terdapat 8,70 persen, turun dibandingkan tahun sebelumnya, namun masih berada di atas rata-rata nasional.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, Dr Yusniar Juliana dalam laporan BPS Kaltim berjudul “Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) Provinsi Kalimantan Timur 2024” yang dipublilasikan bulan ini, Juli 2025.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (usia 0-59 bulan) akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Pola asuh anak selama seribu hari pertama kehidupan berperan penting menghilangkan risiko stunting agar anak tidak mengalami kekurangan asupan gizi dalam waktu lama dan infeksi berulang.
“Seorang anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badan menurut umur lebih rendah dari standar nasional yang berlaku. Stunting sangat berkaitan erat dengan latar belakang sosial ekonomi yang buruk,” Yusniar.
Stunting pada anak dapat berdampak serius pada perkembangan fisik, mental, dan emosional hingga usia dewasa. Pemenuhan nutrisi dan gizi serta pengetahuan tentang stunting harus menjadi upaya penting yang harus dilakukan pemerintah mengingat dampak buruk dari stunting akan berdampak hingga dewasa.
Sedangkan wasting adalah kondisi kurang gizi akut pada anak-anak dimana berat badan anak berada jauh di bawah standar yang diharapkan untuk tinggi badan mereka. Hal ini dapat disebabkan kekurangan makanan yang cukup dan bergizi, sering sakit, atau kombinasi keduanya.
Menurut Yusniar, balita yang menderita wasting sangat rawan terhadap penyakit infeksi dan memiliki risiko kematian lebih besar. Penyebab langsung dari wasting yakni kekurangan gizi akut dan infeksi penyakit, sehingga perlu tata laksana gizi terhadap balita.
“Dalam epidemilogi, batas normal prevalensi wasting yang ditetapkan oleh WHO dan UNICEF adalah sebesar 5 persen. Ketika prevalensi wasting di suatu wilayah lebih kecil dari 5 persen, dapat dikatakan bahwa tingkat kesehatan gizi anak-anak di wilayah tersebut tergolong baik,” ungkapnya.
Dengan memperhatikan prevalensi stunting dan wasting di Kaltim, berarti kesehatan gizi anak balita di Kalimantan Timur merupakan masalah serius yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah karena berisiko terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup balita di masa depan.
Tentang Pola pangan harapan (PPH, skor PPH Provinsi Kaltim tercatat sebesar 87,6, terdapat kecenderungan terus meningkat, namun skor ini cukup jauh berada di bawah skor rata-rata nasional.
“Pemerintah Kaltim harus dapat memastikan masyarakat memiliki akses pangan yang cukup, merata, dan terjangkau melalui berbagai upaya agar setiap individu dapat hidup sehat, aktif, dan produktif,” saran Yusniar.
PPH merupakan susunan keragaman pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama pada tingkat ketersediaan maupun konsumsi pangan. Dengan skor PPH dapat diketahui keragaman dan keseimbangan konsumsi pangan penduduk, sehingga dapat menjadi dasar pemerintah merumuskan kebijakan terkait pemenuhan gizi masyarakat.
Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan | Adv Diskominfo Kaltim
Tag: Stunting