Kreativitas Lulusan STM, Angkat Salak Balikpapan Jadi Ikon Oleh-Oleh

Riswah Yuni (kiri) Owner Cake Salakilo di toko miliknya. (Foto Niaga.Asia/Putri).

BALIKPAPAN.NIAGA.ASIA – Tidak semua cerita wirausaha bermula dari latar belakang kuliner. Riswah Yuni, pendiri Cake Salakilo, justru menapaki jalur bisnis kue salak setelah perjalanan panjang yang sama sekali tidak berkaitan dengan dapur.

Lulusan Sekolah Teknik Menengah (STM) Negeri Balikpapan tahun 1996 ini awalnya mendalami jurusan gambar bangunan. Namun kegemarannya memasak sudah tumbuh sejak kecil.

Berangkat dari keprihatinan melihat buah salak lokal Balikpapan yang sering dianggap sepet dan terbuang, ia terdorong menciptakan inovasi panganan yang akhirnya mengubah citra buah tersebut.

“Dulu saya sendiri tidak suka salak lokal karena rasanya yang sepet dan asam. Tapi saya berpikir, masa iya buah ini tidak bisa diolah jadi makanan yang lebih enak? Dari situ saya mulai mencoba berbagai resep,” kisahnya, pada Niaga.Asia.

Pada 2012, lahirlah Cake Salakilo. Ide dasarnya sederhana mulai dari memadukan resep cake apel yang sudah populer dengan buah salak sebagai bahan utama. Meskipun sederhana di resep tak berarti mudah di pasaran. Tantangan pertamanya yaitu mengubah persepsi konsumen.

“Banyak orang ragu. Mereka pikir rasanya aneh. Tapi lama-lama setelah mencoba, ternyata banyak yang suka,” ucapnya.

Wisatawan nasional dan lokal di Cake Salakilo. (Foto Niaga.Asia/Putri)

Upaya konsisten Yuni membuahkan pengakuan. Di tahun yang sama, kue salaknya berhasil memenangkan Festival Panganan Khas Balikpapan. Empat tahun kemudian, Salakilo dinobatkan sebagai Master Oleh-oleh Terbaik se-Indonesia oleh Blue Band, berkat keunikan produk dan keberhasilan memberdayakan petani salak lokal.

Pencapaian itu menjadi momentum penting sekaligus titik tolak yang semakin memperkuat misi Salakilo yakni menjadikan salak Balikpapan sebagai identitas kuliner daerah.

Meski sudah dikenal di pasar offline, Salakilo sempat menghadapi tantangan serius ketika pandemi Covid-19 melanda. Pembatasan aktivitas membuat penjualan menurun drastis.

“Pandemi memaksa kami harus melek digital. Mau tidak mau belajar jualan online. Dari membuat foto produk yang bagus sampai belajar cara promosi di WhatsApp dan Instagram,” tutur Yuni.

Perlahan, upaya pemasaran daring itu membuahkan hasil. Kepercayaan pelanggan dibangun dari komunikasi langsung dan testimoni konsumen. Menurutnya, kunci utama memenangkan hati pembeli di platform digital adalah transparansi kualitas dan kecepatan merespons.

Kini, Salakilo rutin menerima pesanan melalui marketplace, media sosial, hingga aplikasi pesan antar.

Tidak ingin berhenti hanya di Balikpapan, Salakilo sudah mempersiapkan rencana ekspansi ke Makassar. Alasannya, bibit salak yang digunakan di Balikpapan berasal dari Enrekang, Sulawesi Selatan, sehingga rasa bahan bakunya tetap seragam.

“Kalau lima tahun ke depan ditanya, saya ingin Salakilo bisa dikenal di luar Balikpapan. Target berikutnya Makassar, karena sudah ada hubungan sejarah dengan bibit salaknya,” harap Yuni.

Saat ini, produk Salakilo tak hanya berupa kue. Ada pai salak, dodol, asinan, sambal, hingga kerajinan dari limbah kulit salak seperti bunga hias dan gantungan kunci. Pendekatan ekonomi sirkular tersebut turut memberi dampak ekonomi bagi petani dan pengrajin lokal.

Perjalanan Salakilo menjadi contoh transformasi UMKM yang memadukan inovasi, keberanian mencoba pasar digital, serta keberpihakan pada produk lokal.

“Misalnya tidak dicoba, kita tidak pernah tahu potensi apa yang bisa berkembang. Dulu banyak yang meragukan kue salak bisa bertahan. Sekarang Alhamdulillah, sudah jadi oleh-oleh khas yang diterima konsumen,” pungkasnya.

Yuni berharap, agar semakin banyak UMKM di Balikpapan berani mengolah bahan lokal menjadi produk bernilai tambah.

Sementara itu, pendampingan dari pemerintah dan dukungan promosi bersama tetap diperlukan agar inovasi semacam ini bisa lebih cepat tumbuh dan menembus pasar luar daerah.

Penulis: Putri | Editor: Intoniswan | Adv Diskominfo Kaltim

Tag: