Mematahkan Stigma: Peran Vital Santri Mengisi Ruang Publik

Oleh: Arsinah Sadar, M.Si.

Penulis adalah Dosen FTIK UINSI Samarinda

Arsinah Sadar

Santri sejak dahulu dikenal sebagai kelompok yang dekat dengan tradisi ilmu pengetahuan. Kehidupan di pesantren membentuk mereka untuk senantiasa berinteraksi dengan teks, kitab, dan tradisi intelektual Islam.

Kegiatan rutin seperti pengajian kitab kuning, hafalan, diskusi, hingga musyawarah, melatih santri dalam membangun pola pikir kritis, logis, serta berorientasi pada pencarian kebenaran. Tradisi inilah yang membuat santri memiliki modal intelektual penting untuk hadir di ruang publik.

Dalam konteks modern, santri dituntut tidak hanya menguasai literasi keagamaan, tetapi juga literasi umum, sains, teknologi, dan sosial. Kemampuan menghubungkan khazanah klasik Islam dengan dinamika ilmu pengetahuan kontemporer memperkuat posisi santri sebagai aktor penting pembangunan bangsa. Santri yang mampu menafsirkan teks agama secara kontekstual sekaligus memahami tantangan zaman akan menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas.

Peran santri dalam edukasi publik juga sangat strategis. Mereka dapat menjadi penggerak literasi di masyarakat melalui dakwah, pengajaran, maupun keterlibatan dalam lembaga pendidikan formal dan non-formal. Dengan nilai akhlak mulia dan integritas moral, santri menghadirkan pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga membentuk karakter.

Di era digital, santri memiliki peluang besar untuk mengisi ruang-ruang virtual dengan konten edukatif yang mencerahkan. Melalui tulisan, kajian daring, media sosial, maupun podcast, santri dapat menghadirkan wacana sehat, menolak hoaks, serta menanamkan nilai kebangsaan dan keagamaan yang inklusif. Dengan demikian, peran intelektual santri meluas dari bilik pesantren hingga ke ruang publik global.

Tanggung Jawab Menyampaikan Ilmu (Dakwah di Ruang Publik)

Komitmen terhadap ilmu dan dakwah adalah ciri utama santri. Ilmu yang diperoleh di pesantren tidak boleh berhenti sebagai pengetahuan pribadi, tetapi harus diamalkan serta disebarkan demi kemaslahatan umat. Hal ini ditegaskan dalam  Al-Qur’an, QS. At-Taubah ayat 122,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.

Terjemahnya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

Ayat ini menjelaskan perlunya sekelompok orang yang fokus memperdalam ilmu agama, lalu kembali menyampaikannya kepada masyarakat. Inilah landasan spiritual bagi santri dalam dakwah di ruang publik.

Dakwah santri kini tidak hanya di mimbar masjid atau majelis taklim, tetapi juga melalui pendidikan, karya tulis, media sosial, seminar, hingga advokasi sosial. Dengan begitu, pesan keagamaan tetap relevan, adaptif, dan mampu menjawab persoalan umat.

Lebih jauh, dakwah santri juga memiliki dimensi kebangsaan. Santri dapat menyampaikan Islam rahmatan lil ‘alamin sebagai pedoman hidup berbangsa: menegakkan keadilan, memperjuangkan perdamaian, serta menjaga persatuan. Dakwah berbasis ilmu, akhlak, dan kebijaksanaan akan melahirkan masyarakat yang tercerahkan secara spiritual sekaligus berdaya secara sosial.

Pilar Karakter dan Perekat Bangsa (Toleransi dan Pengabdian)

Santri bukan hanya pencari ilmu, tetapi juga pribadi berkarakter. Pendidikan pesantren menekankan disiplin, keikhlasan, kemandirian, kesederhanaan, serta kebersamaan. Nilai-nilai ini membentuk santri sebagai pilar moral masyarakat.

Pesantren sejak awal berdiri telah menjadi ruang perjumpaan berbagai latar belakang. Di sana, santri dilatih untuk menghargai perbedaan, hidup sederhana bersama, serta membangun ukhuwah tanpa memandang status sosial. Tradisi inilah yang menumbuhkan sikap toleransi. Dalam konteks kebangsaan, santri mampu menjaga keragaman agama, budaya, dan etnis agar tetap dalam bingkai persatuan nasional.

Selain itu, jiwa pengabdian juga melekat pada santri. Dari masa perjuangan kemerdekaan hingga era modern, santri hadir sebagai pejuang, pendidik, tokoh masyarakat, maupun pelayan publik. Spirit khidmah (melayani) ditanamkan sebagai wujud pengabdian kepada Allah melalui pelayanan kepada sesama.

Di tengah potensi konflik perbedaan, santri dapat menjadi penengah yang bijak. Di saat masyarakat menghadapi kesulitan, santri hadir membantu dengan penuh keikhlasan. Dengan demikian, santri tidak hanya agen dakwah, tetapi juga agen perekat bangsa.

Pentingnya Akhlak Mulia (Karakter Bijak)

Akhlak merupakan fondasi utama yang membedakan kualitas seorang insan. Rasulullah SAW bersabda:

“إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ”

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Malik)

Hadis ini menegaskan bahwa misi utama dakwah Islam adalah pembentukan karakter mulia. Santri, sebagai pewaris tradisi ilmu dan akhlak Rasulullah, harus menjadikan etika, kesantunan, kebijaksanaan, dan kasih sayang sebagai modal utama berinteraksi dengan masyarakat.

Manfaat Bagi Sesama (Jiwa Pengabdian)

Rasulullah SAW bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menjadi pedoman bahwa kebermanfaatan sosial adalah ukuran kualitas manusia. Prinsip inilah yang menjiwai tradisi khidmah di pesantren, di mana santri dibiasakan untuk melayani, membantu, dan mengutamakan kepentingan orang banyak.

Jiwa pengabdian mendorong santri aktif dalam berbagai kegiatan sosial: mengajar mengaji, mendampingi masyarakat desa, penanggulangan bencana, hingga pembangunan di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Pengabdian ini lahir dari kesadaran spiritual bahwa melayani sesama merupakan bagian dari ibadah.

Adaptasi dan Kontribusi di Era Kontemporer

Di era global, santri dituntut mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri. Santri kini perlu menguasai keterampilan abad ke-21: literasi digital, komunikasi publik, manajemen sosial, hingga kepemimpinan visioner.

Pesantren mendorong santri berani menembus batasan, keluar dari zona nyaman, dan hadir sebagai aktor perubahan. Mereka tidak hanya berperan sebagai ustaz, tetapi juga akademisi, politisi, birokrat, jurnalis, tenaga kesehatan, aktivis sosial, bahkan wirausaha. Santri tampil sebagai sosok religius sekaligus profesional yang memberi kontribusi nyata bagi bangsa.

Dengan akhlak mulia dan jiwa pengabdian sebagai landasan, kontribusi santri di ruang publik semakin jelas. Santri menghadirkan harmoni antara nilai agama, budaya lokal, dan tantangan global, sekaligus menjadi jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan bangsa Indonesia.

Keseimbangan Tradisi dan Modernitas

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia terus menghadapi tuntutan zaman. KH. Said Aqil Siroj menegaskan bahwa “jihad hari ini adalah melawan kebodohan dan ketertinggalan teknologi.” Dengan itu, santri harus menguasai ilmu agama klasik (turāts) sekaligus ilmu modern (‘asrīyah). Kombinasi ini akan melahirkan pemimpin mumpuni di abad ke-21.

Santri Sebagai Intelektual Tawassuṭ (Moderasi)

Santri memiliki peran vital sebagai pembawa Islam wasathiyah (moderat). Mereka bukan hanya penjaga tradisi keilmuan pesantren, tetapi juga cultural brokers, jembatan yang mempertemukan kelompok berbeda dalam masyarakat. Dengan sikap tawassuṭ (moderat), tasāmuh (toleransi), dan tawāzun (seimbang), santri mampu menangkal radikalisme sekaligus memperkuat kohesi sosial.

Peran Kepemimpinan dan Ruang Publik

Menteri Agama RI beberapa kali mengingatkan bahwa santri dan alumni pesantren harus lebih berani speak up di ruang publik. Ketawaduan khas santri bukan berarti diam, melainkan diiringi kontribusi nyata dengan kompetensi tinggi. Santri harus mampu meramu ilmu kesantrian dalam bahasa yang dipahami masyarakat luas, sehingga Islam rahmatan lil-‘ālamīn benar-benar dirasakan semua lapisan.

Integrasi Ekonomi dan Kewirausahaan

Selain di bidang keilmuan, banyak pesantren kini merintis program kewirausahaan atau Santri Preneur. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren tidak hanya melahirkan pemuka agama, tetapi juga motor penggerak ekonomi syariah. Kemandirian ekonomi santri menjadi kekuatan baru yang menopang pembangunan daerah sekaligus memberi kontribusi signifikan bagi ekonomi nasional.

Kesimpulan

Santri kini tidak lagi terbatas pada peran tradisional di bilik pesantren. Mereka telah menjadi agen perubahan yang aktif dan kompeten di berbagai spektrum ruang publik. Dengan bekal spiritual dari Al-Qur’an dan Hadis, ditopang keterampilan adaptif sesuai tuntutan zaman, santri hadir sebagai pemimpin masa depan.

Santri adalah penjaga moralitas, penggerak sosial, pendorong ekonomi, serta inspirasi budaya. Dengan perpaduan tradisi dan modernitas, mereka siap menjawab tantangan global sekaligus memperkokoh fondasi bangsa.

Selamat hari Santri Nasional, 22 Oktober 2025

Tag: