
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia region Kalimantan khususnya dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, hari ini, mulai pukul 13.30 WIT akan membahas usulan moratorium izin pertambangan, khususnya di Kalimantan, melalui Hybrid Zoom Meeting dari Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam rilisnya yang disampaikan (PWYP) Indonesia region Kalimantan khususnya dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, bahwa koalisinya terdiri dari organisasi masyarakat sipil yakni Gemawan, Pokja 30, Perkumpulan PADI Indonesia.
Menurut PWYP, moratorium izin pertambangan semakin urgen di tengah makin menguatnya ancaman kerusakan ekologi dan penurunan kualitas hidup yang dirasakan masyarakat khususnya di daerah kaya tambang seperti di Pulau Kalimantan.
”Untuk memperkuat dorongan agar Pemerintah, baik Pusat dan Daerah mengeluarkan kebijakan moratorium izin pertambangan, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia region Kalimantan khususnya dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat mengadakan diskusi,” kata Laili Khairnur, Direktur Eksekutif Gemawan, sekaligus ketua pelaksana diskusi.
Menurut Laili, dalam diskusi ini, panitia selain mengundang wartawan, juga dalam diskisi menghadirkan sebagai peserta Dinas ESDM Kalimantan Timur, 3. Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur, 4. BAPPEDA Kalimantan Timur, JATAM Kalimantan Timur, dan WALHI Kalimantan Timur.

Sedangkan yang akan jadi pembicara adalah Buyung Marajo dari Pokja-30. Buyung akan memaparkan materi diskusi dengan topik “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mempertanyakan Implementasi Reklamasi Tambang dan Transparansi Keterbukaan Informasi Publik di Kalimantan Timur.”
Pemateri kedua adalah Among, Perkumpulan PADI Indonesia. Among membawakan materi yang topiknya adalah “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Krisis Biodiversitas dan Dampak Tambang terhadap Masyarakat adat di Kalimantan Timur dan Pulau Kalimantan”.
Terakhir, Andre Illu dari WALHI Kalimantan Barat akan memaparkan materi diskusi tentang “Urgensi Moratorium Tambang: Kritik Tata Kelola Kebijakan dan Peran Pemerintah Daerah dalam Merespon Tambang Ilegal di Kalimantan Barat”.
Latar belakang
Menurut Laili, yang melatarbelakangi diskusi dengan topik utama moratorium izin pertambangan ini adalah dibalik besarnya aktivitas ekstraksi di Kalimantan, Pulau Kalimantan harus menanggung krisis ekologis yang besar sebagai konsekuensi dari praktik penambangan yang ada. Kondisi itu berimplikasi lahirnya berbagai kerusakan atau dampak negatif terhadap lingkungan.
“Sebagai contoh, ketaatan terhadap kewajiban reklamasi dan pasca tambang oleh pelaku usaha di Kalimantan Timur mengakibatkan lubang bekas aktivitas tambang masih menganga pasca penambangan, sehingga menelan puluhan korban jiwa,” ujarnya.
Pulau Kalimantan dikenal sebagai daerah penghasil tambang. Salah satunya yang terbesar dan terkenal adalah batubara. Kementerian ESDM menyebutkan Pulau Kalimantan berkontribusi terhadap produksi batubara dalam negeri sebesar sebesar 82% atau 687 juta ton. Kontributor terbesar dari Kalimantan Timur yakni 386 juta ton, kemudian Kalimantan Selatan 237 juta ton, Kalimantan Tengah 39 juta ton, Kalimantan Utara 28 juta ton, dan Kalimantan Barat 15 juta ton.

Namun sebetulnya bukan hanya tambang batubara yang dihasilkan Kalimantan, terdapat sejumlah komoditas tambang lain seperti emas, bauksit, dan nikel. Kalimantan Barat merupakan daerah potensi tambang emas yang besar. Provinsi tersebut memiliki potensi cadangan emas mencapai hingga 69,98 juta ton (Media KalBar, November 2025).
Selain itu, praktik tambang ilegal juga merajalela di Kalimantan. Salah satu kasus yang baru terjadipada November 2025 yakni temuan Ditjen Gakkum Kementerian ESDM, dimana ditemukannya tambang ilegal skala besar di dekat Ibu Kota Negara (IKN) Kalimantan Timur dengan volume produksi 6.000 ton. Namun sebetulnya itu hanya contoh kecil.
Kasus tambang ilegal sudah terjadi sejak lama, namun sulit ditangani pemerintah. Hal ini diakui oleh Sudirman Widhy Hartono, Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), dimana ia mengatakan bahwa “Batubara itu salah satu komoditas bahan galian tambang yang pertama kali dicuri atau ditambang secara ilegal oleh praktek penambangan tanpa izin itu di awal tahun 2000-an.
”Saya menjadi saksi mata sendiri dengan melihat di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Saat itu para pemilik IUP sudah lapor, namun tetap sulit diberantas,” kata Sudirman, dikutip CNBC Indonesia, 31 Oktober 2025.
Sementara, di Kalimantan Barat, lanjut Laili, juga marak aktivitas penambangan ilegal. Salah satu kasus besar yakni pada tahun 2024 yang dilakukan warga negara asing Tiongkok di Kabupaten Ketapang. Dimana pelaku melakukan aksinya dengan memanfaatkan lubang tambang atau tunnel pada wilayah tambang yang berizin yang seharusnya dilakukan pemeliharaan, namun justru dimanfaatkan penambangannya secara ilegal.
”Setelah dilakukan pemurnian, hasil emas dibawa keluar dari terowongan tersebut dan kemudian dijual dalam bentuk ore (bijih) atau bullion emas. Mengenai hal tersebut, kerugian negara ditaksir mencapai Rp.1,020 triliun. Dimana tersebut berasal dari cadangan emas yang hilang sebanyak 774,27 kg dan perak sebanyak 937,7 kg,” kata Laili mengutip laporan Kementerian ESDM, September 2024.

Jumlah izin yang diterbitkan hingga saat ini tak sebanding dengan pembinaan, pengawasan, dan gakkum. Kapasitas kelembagaan Pemerintah dalam penyelenggaraan pengawasan perizinan pertambangan misalnya, dimana jumlah Inspektur tambang yang ada tidak sebanding dengan jumlah izin yang harus diawasi (PWYP Indonesia, 2021).
Saat ini tercatat, jumlah inspektur tambang di Indonesia sebanyak 492 (Kementerian ESDM, 2023). Sementara izin yang harus diawasi berjumlah 4.409 izin, termasuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) (Kementerian ESDM, Januari 2024).
”Sayangnya, Pemerintah, di tengah berbagai persoalan tata kelola yang belum terselesaikan hingga saat ini, keran pemberian izin pertambangan malah dibuka makin lebar. Disahkannya perubahan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU) Minerba yang baru pada 18 Februari 2025, menjadi bukti akan hal itu. Bahkan pengelolaan sumber daya alam kini kian jauh dari wacana atau narasi moratorium,” lanjut Laili.
Moratorium seharusnya menjadi salah satu pangkal upaya perbaikan tata kelola sektor pertambangan batu bara. Namun semakin ke sini, narasi maupun wacana moratorium seakan hilang dari jalannya tata kelola pertambangan minerba, tak terkecuali masa pemerintahan Prabowo-Gibran, kalah dengan narasi transisi energi dan sumber daya alam sebagai sumber penerimaan negara.
”Padahal ancaman kerusakan lingkungan dan penurunan kualitas hidup nyata dirasakan masyarakat khususnya di daerah tambang,” pungkas Laili.
Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan
Tag: tambang