Pelajar SMPN 3 Tenggarong Kenalkan Musik ‘Tingkilan’ Lewat Film Dokumenter!

Dari Kiri ke Kanan: Mohammad Irhas Panji Kusuma kelas 9 (videografer, Editor); Founder Petala Borneo Ozi; Vocalist Petala Borneo Nova; Aura Vhindra Sazkia kelas 8 (narator, script writer); serta Setia Ananda Lira kelas 8 (sutradara, script writer). (Dok SMPN 3 Tenggarong/Niaga.Asia)

TENGGARONG.NIAGA.ASIA – Sebuah film dokumenter dengan judul ‘Pesona Tingkilan Milenial’ garapan siswa SMPN 3 Tenggarong menjadi salah satu karya menarik yang lahir dari ajang Festival Film Dokumenter Tahun 2025 tingkat pelajar se-Kabupaten Kutai Kartanegara.

Acara yang digelar Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) mulai tanggal 6 – 16 Oktober 2025 ini bertujuan menumbuhkan kreativitas para pelajar sekaligus memperkuat kecintaan terhadap kebudayaan lokal melalui medium sinema.

Di bawah bimbingan guru pendamping dari SMPN 3 Tenggarong, M. Adiyatma Iwandana, film yang digarap tiga siswanya ini menyoroti bagaimana musik tradisional Kutai, Tingkilan, bisa berevolusi dalam kemasan modern yang digemari generasi muda.

Adiyatma menceritakan, gagasan awal film ini berangkat dari inisiatif siswa yang tergabung dalam Komunitas Jurnalistik dan Komunitas Ngesahi di sekolah. Ia mengaku menyerahkan sepenuhnya proses ide dan pelaksanaannya kepada anak-anak, dirinya hanya berperan sebagai fasilitator saja.

“Jadi peran awal saya hanya menyediakan fasilitas dan memberi akses ke beberapa komunitas seni,” ujarnya, Minggu (12/10).

Poster resmi film dokumenter “Pesona Tingkilan Milenial” karya siswa SMPN 3 Tenggarong yang ditayangkan dalam Festival Film Dokumenter 2025 Disdikbud Kutai Kartanegara. (Doc SMPN 3 Tenggarong/Niaga.Asia)

Tiga siswa yang terlibat sebagai tim utama dalam proyek ini adalah; Mohammad Irhas Panji Kusuma (kelas 9) sebagai videografer dan editor; Aura Vhindra Sazkia (kelas 8) sebagai narator sekaligus penulis naskah; serta Setia Ananda Lira (kelas 8) yang berperan sebagai sutradara dan penulis naskah.

Pada awalnya, beber dia, terdapat tiga tema yang diusulkan untuk digarap dalam Festival Film Dokumenter 2025, diantaranya; ada Belia Dance Community; Pesona Tingkilan Milenial; dan Nasi Bekepor di Bensamar, Kuliner Asli Kutai.

“Sebenarnya yang paling mudah dikerjakan itu tema Belia Dance Community, tapi anak-anak kekeuh memilih Pesona Tingkilan Milenial,” jelasnya.

Alasan para siswa mengambil tema ‘Pesona Tingkilan Milenial’, beber pria berusia 40 tahun ini, sangat sederhana, yakni, karena mereka baru saja menyaksikan penampilan Tingkilan yang memukau saat gelaran Festival Budaya Erau beberapa waktu lalu. Musik tradisional itu terasa hidup dan dekat dengan generasi muda.

“Mereka antusias, kenapa musik tingkilan sekarang bisa sekeren itu diperdengarkan. Semakin modern dan panggungnya sudah meluas. Mereka merasa ini akan menjadi cerita inspiratif untuk diangkat,” terangnya.

Nilai inspiratif yang ingin disampaikan para siswa-siswi SMPN 3 Tenggarong melalui film dokumenter Pesona Tingkilan Milenial terletak pada cara mereka memaknai transformasi musik tradisional Kutai.

Musik Tingkilan yang dulunya lekat bernuansa klasik Melayu kini tampil dalam format yang lebih modern dan segar, mampu menjangkau pendengar lintas usia dan generasi. Evolusi ini menunjukkan bahwa warisan budaya dapat terus hidup mengikuti zaman dengan cara-cara baru tanpa harus meninggalkan jati diri budayanya.

Proses syuting film dokumenter “Pesona Tingkilan Milenial” yang menampilkan transformasi musik Tingkilan di era modern. (Dok SMPN 3 Tenggarong/Niaga.Asia)

“Dulu mereka menganggap Tingkilan itu hanya musik pengiring tari Jepen atau acara adat Kesultanan Kutai. Sekarang mereka melihat bahwa industri musik Tingkilan sudah jauh berkembang dan mendapat tempat di hati generasi muda,” tuturnya.

Adiyatma mengaku, semangat para siswa dalam menggarap film ini benar-benar luar biasa. Ketiga muridnya tidak hanya belajar teknis perfilman, tapi juga belajar menghargai warisan budaya daerahnya sendiri. Ia merasa bangga melihat bagaimana anak-anak mampu memadukan kreativitas dengan nilai kearifan lokal dalam karya mereka.

Kendati demikian, Guru bahasa Inggris ini juga mengaku bahwa proses produksi yang relatif sangat singkat, hanya 6 hari, termasuk 2 hari workshop ( 6 – 7 Oktober; ) dan 4 hari untuk pengambilan gambar serta penyuntingan ( 8 – 11 Oktober ), menjadi tantangan terbesar bagi para peserta.

“Saya tidak menyangka anak-anak SMPN 3 Tenggarong bisa menyelesaikan filmnya dalam waktu sesingkat itu. Mereka kerja lembur sampai malam di sekolah, tapi semua tetap dilakukan dengan semangat luar biasa dan tepat waktu,” paparnya.

Menurut Adiyatma yang juga pembina Osis ini, keterlibatan siswa-siswi dalam Festival Film Dokumenter 2025 bukan hanya menambah pengalaman mereka di bidang perfilman, tapi juga memperkuat rasa cinta terhadap budaya lokal.

“Kalau mereka bisa juara, itu akan menjadi sejarah baru bagi sekolah kami. Tapi lebih dari itu, mereka semakin mencintai budaya sendiri lewat cara yang relevan dengan zamannya,” ungkapnya bangga.Ia juga menilai, Festival Film Dokumenter ini merupakan program yang sangat baik dari kepemimpinan Bupati Aulia Rahman Basri dan Wakil Bupati Rendi Solihin. Menurut Adiyatma, kegiatan ini tak hanya dapat menumbuhkan kreativitas pelajar, tetapi juga memperkuat kecintaan generasi muda terhadap adat istiadat dan warisan budaya lokal.

“Bukan hanya lombanya yang penting, tapi juga workshop-nya perlu diperbanyak. Karena saya yakin, anak-anak SMP sekarang sudah cukup mahir dalam memproduksi konten digital,” katanya.

Harapannya dengan kegiatan seperti ini, para pelajar dapat menyalurkan potensi mereka ke arah yang lebih positif dan produktif, serta sekaligus belajar menghargai budaya daerah lewat cara yang kekinian dan relevan dengan dunia mereka.

Proses syuting film dokumenter “Pesona Tingkilan Milenial” yang menampilkan transformasi musik Tingkilan di era modern. (Dok SMPN 3 Tenggarong/Niaga.Asia)

Salah satu anggota tim, Setia Ananda Lira, menceritakan bahwa keikutsertaan mereka dalam ajang Festival Film Dokumenter 2025 menjadi pengalaman yang sangat berharga.

Keterlibatan ia bersama dua rekannya, Aura Vhindra Sazkia dan Mohammad Irhas Panji Kusuma, menjadi kesempatan untuk belajar banyak hal baru dan menunjukkan cerita dari sudut pandang generasi muda.

“Kami pengin nunjukin hal-hal yang mungkin belum banyak orang tahu, tapi penting buat dilihat,” tegasnya.

Diungkapkannya, alasan sederhana mereka sepakat memilih Pesona Tingkilan Milenial, karena musik Tingkilan dianggap sebagai warisan budaya Kutai yang tidak seharusnya tenggelam oleh perubahan zaman.

“Bagi kami, tingkilan itu bukan sekadar musik tradisional. Ia bagian dari identitas budaya Kutai yang kaya dan punya pesan moral yang masih relevan sampai sekarang. Karena itu kami pengin ikut melestarikannya lewat film,” imbuhnya.

Tiga anggota tim “Pesona Tingkilan Milenial” tengah fokus melakukan proses editing di sekolah. (Dok SMPN 3 Tenggarong/Niaga.Asia)

Dalam proses kreatifnya, tim ini juga berusaha menampilkan sisi modern dari musik tingkilan agar benar-benar terasa lebih dekat dengan generasi muda. Mereka pun menyesuaikan aransemennya dengan perkembangan zaman.

“Nadanya tetap khas, tapi dikemas lebih modern supaya terasa keren dan relatable,” tambahnya.

Setelah melalui seluruh proses penggarapan film dokumenter ini, Setia mengaku bahwa minatnya terhadap dunia perfilman semakin besar. Hal paling menyenangkan baginya, yakni ketika budaya tradisional bisa menjadi tontonan yang menarik dan diminati banyak orang.

Ia berharap karya mereka dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda lainnya untuk lebih menghargai dan mencintai kebudayaan lokal, tanpa merasa harus meninggalkannya demi terlihat modern.

“Harapannya, lewat film seperti ini anak-anak muda bisa lebih bangga dan tertarik sama budaya sendiri. Karena budaya itu nggak kalah keren dari musik pop atau tren luar,” harapnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Kutai Kartanegara, Puji Utomo, menyampaikan apresiasinya atas antusias para pelajar yang berpartisipasi dalam Festival Film Dokumenter tahun ini.

“Film dokumenter menjadi jembatan baru untuk memperkenalkan kearifan lokal kepada dunia. Kami ingin ajang ini menjadi wadah pembelajaran dan inspirasi agar anak-anak terus berkarya dan mencintai budayanya sendiri,” pungkasnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | Advertorial

Tag: