Pembangunan Rumah Subsidi di Balikpapan Terhambat Harga Tanah yang Tinggi

Wakil Wali Kota Balikpapan, Bagus Susetyo. (Foto Niaga.Asia/Putri)

BALIKPAPAN.NIAGA.ASIA – Harga tanah yang tinggi dan terbatasnya infrastruktur dasar menjadi penghambat utama pembangunan rumah subsidi di Balikpapan. Program 1 Juta Rumah Perkotaan di Kalimantan, yang menargetkan 350 ribu unit rumah FLPP tahun ini, baru terserap sekitar 169 ribu unit hingga Oktober 2025.

Wakil Wali Kota Balikpapan, Bagus Susetyo, menjelaskan, tingginya harga lahan menjadi faktor penghambat pengembang untuk membangun rumah subsidi.

“Harga tanah di Balikpapan sudah menembus Rp500 ribu per meter. Sementara harga rumah FLPP sudah dipatok pemerintah pusat, sehingga pengembang harus menanggung selisih biaya pembangunan. Ini jelas membuat mereka kesulitan menyesuaikan harga jual rumah subsidi,” ungkap Bagus, Rabu (15/10/2025).

Selain harga tanah, keterbatasan infrastruktur juga menjadi masalah signifikan. Beberapa kawasan potensial untuk perumahan, terutama di wilayah utara dan timur Balikpapan, masih membutuhkan dukungan akses jalan, pasokan air bersih, dan listrik.

“Beberapa lokasi belum layak dijadikan perumahan baru karena infrastruktur dasarnya belum memadai. Jalan menuju lokasi perumahan kadang belum ada, jaringan air dan listrik juga terbatas,” sebutnya.

Untuk mengatasi hal ini, Pemkot Balikpapan tengah mempercepat revisi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

“Revisi RDTR memungkinkan penyesuaian peruntukan kawasan, sehingga lahan bisa digunakan lebih efektif untuk pembangunan rumah subsidi,” jelas Bagus dihadapan awak media.

Sejak Desember 2024, pemerintah kota juga memberlakukan kebijakan pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi proyek rumah subsidi.

Bagus menambahkan, dengan pembebasan biaya izin ini, pihaknya berharap pengembang bisa fokus membangun rumah, bukan terbebani biaya tambahan yang justru memperlambat realisasi program.

Di samping itu, Pemkot Balikpapan tidak hanya fokus pada pembangunan rumah baru melalui skema FLPP, namun juga menjalankan program perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) melalui APBD dan program BSPS dari pemerintah pusat.

“Tahun ini, sebanyak 150 rumah warga telah menerima bantuan perbaikan. Program ini penting agar masyarakat berpenghasilan rendah tetap bisa menikmati hunian yang layak,” tekannya.

Meski demikian, Bagus mengungkapkan, penerima rumah subsidi menghadapi kendala administratif, terutama terkait proses pengajuan KPR.

“Calon penerima rumah sering mengalami masalah BI checking atau memiliki cicilan kendaraan yang masih aktif, sehingga pengajuan KPR ditolak bank. Hal ini menjadi kendala tambahan yang harus diantisipasi pengembang dan pemerintah daerah,” tuturnya.

Program rumah FLPP ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan maksimal Rp8 juta per bulan, yang belum pernah memiliki rumah, dan tidak diperkenankan memperjualbelikan rumah subsidi selama lima tahun. Sementara program BSPS dan RTLH fokus pada perbaikan rumah yang ada agar lebih layak huni.

Pemkot Balikpapan juga membuka peluang kolaborasi dengan pengembang swasta dan asosiasi profesi untuk mempercepat pembangunan rumah subsidi.

“Sebagian besar proyek rumah subsidi di Balikpapan dijalankan oleh pengembang swasta. Pemerintah kota bertugas menyiapkan lahan, menyederhanakan regulasi, dan mempercepat proses perizinan agar target nasional bisa tercapai,” urai Bagus.

Dengan serapan rumah subsidi yang masih di bawah 50 persen dari target, pemerintah pusat mendorong daerah untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan hunian masyarakat berpenghasilan rendah.

“Program ini bukan sekadar membangun rumah, tapi memastikan masyarakat bisa tinggal di lingkungan yang layak dan terjangkau,” pungkasnya.

Penulis : Putri | Editor : Intoniswan

Tag: