Petani Nunukan Keluhkan APMS Tolak Jual Solar Subsidi untuk Hand Tractor

Konding, salah satu petani sawah di Nunukan yang keluhkan APMS tidak jual solar subsidi ke petani (Foto : Budi Anshori/Niaga.Asia)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Sejumlah petani di Kecamatan Nunukan Selatan, Kabupaten Nunukan, mengeluhkan sulitnya mendapatkan solar subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) alat pembajak sawah atau hand tractor.

“Kami sudah coba beli di Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), tapi tidak pernah diberikan, padahal kami memperlihatkan kartu anggota tani,” kata anggota kelompok tani Mansapa, Konding, pada Niaga.Asia, Rabu (29/10/2025).

Penolakan pihak APMS melayani penjualan solar subsidi ke petani, menurut Konding,  didasari atas alasan bahwa BBM subsidi seharga Rp 6.000 per liter diperuntukan bagi kendaraan bermotor dan perahu nelayan masyarakat.

BBM subsidi pertalite serta solar tidak disediakan untuk penggunaan peralatan usaha komersial seperti excavator dan alat berat lainnya, termasuk bagi peralatan persawahan berukuran besar dan kecil.

“Nelayan bisa beli BBM subsidi menggunakan kartu nelayan, kami juga diberikan pemerintah kartu tani, tapi tidak bisa beli solar subsidi, kami bertanya kenapa ada perbedaan antara nelayan dan petani,” sebutnya.

Perbedaan perlakuan terhadap petani dalam mendapatkan BBM solar subsidi menimbulkan kecemburuan bagi petani, padahal kedua profesi ini sama-sama masuk kategori usaha kecil yang seharusnya mendapat prioritas dari pemerintah.

Konding mengaku sudah berulang kali berusaha meminta BBM solar subsidi ke APMS, dan menjelaskan kebutuhan penggunaan BBM dengan memperlihatkan kartu tani, namun tidak satupun APMS peduli terhadap kartu itu.

“Percuma kami diberikan kartu tani, tidak juga bisa difungsikan beli BBM subsidi, perbeda dengan teman-teman nelayan selalu dapat jatah BBM,” sebutnya.

Kebutuhan BBM solar untuk membajak lahan persawahan seluas 3,5 hektar menghabiskan 90 liter. Jika harga BBM solar non subsidi dijual Rp 12.000 per liter, maka petani harus menyiapkan uang sekitar Rp 1.140.000.

Konding meminta Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Nunukan bisa membantu mempermudah para petani mendapatkan solar subsidi, agar biaya produksi pengolahan lahan persawahan tidak terlalu besar.

“Solar non subsidi itu untuk proyek kontraktor atau perusahaan industri, beda kami ini hanya petani yang hasilnya tidak seberapa,” bebernya.

Berbeda dengan pengolahan lahan sebelum masuk musim panen menggunakan alat hand tractor. Sistem panen lahan persawahan milik Konding masih menganut sistem sabit atau potong manual.

Penggunaan sistem manual ini setidaknya mengurangi biaya operasional panen dibandingkan dengan memakai peralatan Combine Harvester yang butuh BBM solar cukup banyak tiap panen.

“Pakai Combine Harvester waktu panennya lebih cepat dan mudah, tapi biaya solarnya pasti tinggi, kami belum mampu gunakan BBM non subsidi,” terangnya.

Lahan 3,5 hektar milik Konding merupakan hasil sewa dari orang lainnya yang pembayaranya dihitung dari bagi hasil panen padi. Meski hasil panen tidak seberapa, Konding cukup bahagia hidup sebagai petani.

“Saya sudah 20 tahun jadi petani, dari awal muda sampai sekarang tetap bekerja tani padi,” ungkapnya.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Intoniswan

Tag: