Petani Sempaja Utara Merugi Akibat Aktivitas Pembuangan Sampah Ilegal di Batu Besaung

Tumpukan sampah di tebing Batu Besaung RT 37 Sempaja Utara yang diduga menjadi sumber pencemaran aliran air ke lahan pertanian warga. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Adanya aktivitas pembuangan sampah ilegal di Jalan Batu Besaung, tepatnya di RT 37, Kelurahan Sempaja Utara, belakangan ini membuat para petani resah. Limbah sampah mencemari aliran air pertanian sejak Mei 2025 diduga petani menjadi penyebab hasil panen anjlok dan omzet petani terjun bebas.

Berdasarkan pantauan Niaga.Asia di lokasi pada Selasa (30/9) bersama Zainal Abidin, Sub Koordinator Penanganan Sampah DLH Samarinda, jarak antara lokasi pembuangan sampah dengan area pertanian hanya sekitar 300 meter saja.

Kondisi ini membuat air lindih sampah mencemari langsung kebun-kebun sayur milik petani di Jalan Padat Karya, Gang Sayur, RT 35 Kelurahan Sempaja Utara, Samarinda Utara. Air yang semula jernih mengalir, kini justru sering berubah keruh hingga berwarna hitam saat sore hari.

Padahal kata Arbani, salah seorang petani di Sempaja Utara, aliran itulah satu-satunya yang mengairi lahan-lahan pertanian. Namun kini, aliran itu yang menyebabkan sayuran layu hingga gagal panen.

“Saya kan nanem terong, kacang, buncis dan tomat. Nah beberapa bulan ini gagal panen, kacang saya mati semua. Tanaman pada layu,” ujarnya.

Kondisi sayuran di kebun warga terlihat layu dan rusak setelah aliran irigasi tercemar sampah. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Situasi semakin parah karena aliran limbah membuat area pertanian juga kerap dilanda banjir. Akibatnya, tanaman cepat rusak dan sebagian lahan tidak bisa ditanami lagi.

“Ladang ini penuh kalau banjir besar. Padahal biasanya nggak banjir. Kalau sudah gitu, enggak ada yang bisa ditanami” jelasnya.

Arbani menyebutkan, total lahan pertanian di kawasan tersebut mencapai sekitar 5 hektare. Meski digarap oleh 10 orang, usaha ini bukan bagian dari kelompok tani, melainkan dikelola secara perorangan. Ia mengaku para petani semakin terbebani karena hasil panen yang dulunya melimpah kini merosot tajam.

Sebelum adanya pencemaran, pria berusia 42 tahun tersebut bisa menghasilkan 4–5 pikul sayuran sekali panen dengan omzet sekitar Rp8 juta per bulan. Namun sejak aliran air tercemar limbah, hasil panennya hanya tersisa 20 kilogram per minggu, dengan pendapatan yang kini tinggal Rp2 juta per bulan. Hal ini membuat penghasilannya nyaris tidak mampu menutup ongkos produksi.

“Saya sudah 3 tahun bertani/berkebun. Ya kita harap ke depan, bisa segera ditindak supaya kita bisa berkebun lagi. Kalau gini terus, 4-5 hari baru airnya bisa digunakan. Sedangkan ini satu-satunya penghasilan kami,” harapnya.

Aliran sungai di dekat kebun warga Sempaja Utara yang menjadi satu-satunya sumber air pertanian. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Kesulitan serupa juga dialami Sukamto, petani berusia 50 tahun yang juga menggarap lahan di kawasan itu. Ia mengaku sudah sekitar 3 tahun menanam kangkung, bayam, cabai, dan tomat. Namun, baru belakangan ini hasil panen tidak lagi stabil.

Semua itu lanjut dia, akibat aliran air yang menjadi satu-satunya sumber pengairan telah tercemar. Tanaman seperti kangkung dan bayam disebut-sebut sebagai yang paling terdampak.

“Biasanya omset saya bisa Rp3–4 juta per bulan, sekarang turun jadi Rp2 juta. Banyak tanaman layu, sekitar 50 persen gagal panen,” bebernya.

Menurutnya, air yang digunakan kini semakin sering berwarna hitam dan terlalu keruh. Ia bahkan tidak berani menyirami tanamannya.

“Kalau dulu biasanya hanya keruh saat hujan saja, sekarang meski tidak hujan tetap hitam. Setelah ditelusuri, ternyata alirannya berasal dari arah Batu Besaung, lokasi di atas sana, yang ada aktivitas pembuangan sampah,” terangnya.

Jarak antara lokasi pembuangan sampah di Batu Besaung dan kebun warga Sempaja Utara Samarinda diperkirakan Sub Koordinator Penanganan Sampah, Zainal Abidin hanya sekitar 300 meter. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Hasil panen Arbani, Sukamto maupun petani lainnya biasanya dipasarkan ke Pasar Segiri atau dijual langsung kepada para pedagang sayur yang datang ke lokasi. Namun sejak lahan mulai tercemar, kualitas sayuran turun sehingga daya jual melemah.

Terong yang dulu besar dan segar kini kecil-kecil dan mengkerucut, sementara sebagian tanaman lainnya mati. Baik Arbani maupun Sukamto sama-sama berharap pemerintah segera turun tangan.

“Kalau tidak cepat ditangani, habis sudah tanaman kami. Otomatis hilang juga penghasilan keluarga,” tegasnya.

Sementara itu, Sub Koordinator Penanganan Sampah DLH Kota Samarinda, Zainal Abidin, menegaskan bahwa pembuangan sampah di Batu Besaung jelas ilegal.

“Walaupun informasi pemilik lahan bilang bukan sampah rumah tangga, tapi apapun alasannya, ini sangat berimbas pada lahan sekitar. Air tercemar, tanaman di sekitar mati. Insya Allah ini harus ditutup, tidak boleh lagi ada kegiatan pembuangan,” tuturnya.

Zainal menyebut, akibat dari pencemaran ini tidak hanya dirasakan oleh tanaman, tapi juga bisa berdampak pada kolam ikan hingga kesehatan warga sekitar.

“Air tanah sudah mulai tercemar, makanya aktivitas ini tentunya harus distop. Untuk mengembalikan kondisinya bisa butuh waktu lama, bahkan sampai lima tahun,” urainya.

Ia memastikan akan segera berkoordinasi dengan pihak kelurahan, kecamatan, hingga melaporkan ke Plt Kepala DLH Samarinda, Suwarso, untuk tindak lanjut.

“Intinya kita akan berkoordinasi, karena tidak boleh lagi ada kegiatan untuk pembuangan walaupun itu ‘berem’. Karena terus terang dari sana pun nggak ada juga izin lingkungannya. Kalau mau buat suatu pembuangan itu kan harus ada izin lingkungannya,” imbuhnya.

Lurah Sempaja Utara Dzulkifli. (Niaga.Asia/Lydia Apriliani)

Di temui di ruang kerjanya, Lurah Sempaja Utara, Dzulkifli, mengaku pihaknya juga sudah menerima laporan dari warga. Ia menegaskan kelurahan akan berkolaborasi dengan DLH untuk mengawal kasus ini.

“Warga sudah ada yang melapor. Kita ingin secepatnya ditindaklanjuti, karena selain warga yang tinggal di situ, ada juga yang cari makan dari berkebun. Tanamannya pada mati semua,” ungkapnya.

Secepatnya, ia akan mengirim surat resmi ke pihak terkait dan melaporkannya pada Wali Kota Samarinda, Andi Harun.

“Insyaallah hari ini kita bikin surat. Gampang, di era sekarang langsung selesai. Biasanya kalau ada surat dan bukti foto, pak wali langsung menanggapi,” paparnya.

Persoalan ini kata Dzulkifli, juga menunjukkan pentingnya koordinasi antar-RT dengan pihak kelurahan.

“Kadang RT itu nggak melapor. Contohnya RT 35 nggak ada laporan. Padahal koordinasi itu penting supaya masalah cepat ditangani,” pungkasnya.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan

Tag: