PT Energi Unggul Persada Harus Selesaikan Permasalahan Lingkungan dan Sosial

Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi bersama anggota saat melakukan kunjungan spesifik berupa pengawasan di PT Energi Esa Unggul Bontang, Kamis (15/5/2025). (Foto Dok Komisi IV DPRD Kaltim/Niaga.Asia)

BONTANG.NIAGA.ASIA – PT Energi Unggul Persada (EUP) merupakan perusahaan di bawah bendera Karunia Prima Nastari (KPN) Corp. Main jobnya adalah hilirisasi sawit dlm bentuk penyulingan (refinery) minyak sawit menjadi minyak goreng (migor)dan berbagai fraksionasi  (turunannya) seperti; PFAD, Fatty acid, stearin, dan biodiesel.

Nilai investasi PT EUP di Kota Bontang tergolong besar, lebih dari Rp3 triliun. Memiliki kapasitas produksi Migor sekitar 1.100.000 TPY, dan Biodiesel sekitar 1.221.000 TPY. PT EUP telah berkontrak dengan  Pertamina atas Biodieselnya.

Komisi IV DPRD Kaltim dalam rangka melakukan pengawasan berkunjung ke Main Site PT EUP di Bontang Lestari, Kamis 15 Mei 2025 lalu. Sejak groundbreaking pada 30 November 2019, entitas bisnis ini telah dihadapkan pada beragam masalah.

Line pabriknya menempati lahan sekitar 120 Ha, kesemuanya merupakan daerah mangrove. Secara alami, daerah tersebut merupakan kawasan hijau,” ungkap Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi.

Disekitar kawasan PT EUP terdapat lubang menganga yang menandakan bekas galian C. Diduga tanahnya diambil sebagai  timbunan area pabrik PT. EUP. Kalau itu betul, maka dipastikan itu ilegal, karena menurut Dinas ESDM Kaltim di Kota Bontang tidak pernah ada pengajuan izin tambang galian C. Apalagi memang, Tata Ruang Kota Bontang tidak memiliki wilayah peruntukan galian C atau tambang.

“Masih menurut Dinas ESDM, aktivitas ilegal tersebut bisa berkonsekuensi pidana dan perdata dlm bentuk denda hingga Rp100 M,” ujar Darlis.

Sejak tahun 2020 pabrik PT EUP telah beroperasi dan kini telah berproduksi, tapi sistem tanggap daruratnya belum memadai.  Masih perlu melakukan adaptasi atas mitigasi bencananya. Terbukti, telah 4 kali terjadi kebakaran hebat pada pabriknya. Yakni pada Agustus 2021, Juni 2022, Januari 2023, dan Juni 2024.

“Demikian juga, sistim pengolahan limbahnya belum canggih hingga kini. Teramat rentan mengakibatkan pencemaran,” ungkap Darlis.

Misalnya, SPARING (Sistem Pemantauan Kualitas  Air Limbah Secara Terus Menerus dan Dalam Jaringan) sebagai prasyarat pengolahan limbah oleh Kementerian LH belum dilakukan.

Menurut Darlis lagi, hingga kini, PT EUP masih menghadapi tuntutan dari sekitar 185 nelayan yang tergabung dalam Aliansi Gabungan Nelayan Marangkayu atas dugaan pencemaran laut atas buangan limbahnya. Konon, tuntutan ganti rugi mencapai kisaran Rp 25 miliar.

Begitu juga dalam  produksi Migor-nya. Kementrian Perdagangan mewajibkan setiap perusahaan wajib mengalokasikan 20% produksinya sebagai DMO (Domestic Market Obligation atau jumlah distribusi kebutuhan dalam negeri).

Kalau produksi Migor PT EUP mencapai 1.100.000 TPY, artinya sekitar 3.000 ton (kilo liter) per hari. Jika dikalikan 20%, maka  masyarakat Bontang dan sekitarnya (bahkan se-Kaltim) bisa menikmati Migor secara murah dan mudah.

“Para pelaku bisnis (terutama level retail) di Kota Bontang, meyakini kalau PT. EUP belum mematuhi regulasi tersebut,” papar Darlis.

Soal P2K3 (Program Peningkatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di PT EUP masih banyak hal yang mesti dibenahi.

Kepatuhan Perusahaan dan Karyawan akan K3 teramat penting, demi melindungi pekerja dari potensi bahaya dan kecelakaan di tempat kerja. Kepatuhan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), mengikuti prosedur kerja yang aman, hingga pelaporan potensi bahaya.

Darlis menambahkan, atas permasalahan yang ada di PT UEP, manajemennya berkomitmen menyelesai masalah sebagaimana dianjurkan Komisi I DPRD Kaltim.

“Terasa membahagiakan, karena manajemen menyatakan memeperhatian semua yang dianjurkan,  dan 85% tenaga kerjanya berasal dari tenaga kerja lokal,” terangnya.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan | ADV DPRD Kaltim

Tag: