Putus Obat Jadi Pemicu TBC Kebal di Kaltim

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Andi Satya Adi Saputra. (Foto Istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Legislator Karang Paci dari Fraksi Golkar, Andi Satya Adi Saputra, menjelaskan, rendahnya kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan sebagai tantangan terbesar dalam penanggulangan tuberkulosis (TBC) di Kalimantan Timur (Kaltim).

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim ini pun turut menyebut banyak pasien menghentikan pengobatan sebelum waktunya, sehingga berisiko menimbulkan resistensi obat dan menciptakan jenis TBC yang kebal terhadap pengobatan konvensional.

“Kepatuhan berobat jadi kunci. TBC itu pengobatannya tidak seperti sakit kepala yang cukup sekali minum obat. Ini butuh waktu berbulan-bulan, minimal enam bulan. Tapi seringkali pasien malah berhenti di tengah jalan karena bosan atau tidak ada yang mengawasi,” ujarnya kepada Niaga.Asia, Senin (19/5).

Ia menambahkan, pola minum obat yang tidak teratur justru membuat kuman TBC menjadi super kebal. Mereka tidak mempan dengan obat-obat biasa sehingga harus memakai obat lini kedua dan lini ketiga.

“Kalau hari ini minum, besok tidak, lusa baru minum lagi, itu bisa menimbulkan resistensi. Akibatnya pasien butuh obat lini kedua bahkan ketiga, yang lebih berat dan mahal,” jelasnya.

Pernyataan ini juga disampaikan menyikapi capaian Treatment Success Rate (TSR) atau angka keberhasilan pengobatan TBC di Kaltim yang baru mencapai 77,15 persen selama periode Januari hingga April 2025. Data ini dirilis Dinas Kesehatan Kaltim berdasarkan kohort pengobatan Januari–April 2024.

Dari total 3.356 pasien TBC, hanya 1.896 orang yang menyelesaikan pengobatan secara lengkap. Sementara itu, sebanyak 286 pasien putus berobat, 152 meninggal dunia, serta 12 lainnya mengalami kegagalan, 693 sembuh, dan 317 pasien belum dievaluasi.

Kabupaten Berau dan Mahakam Ulu mencatat TSR tertinggi sebesar 90,80 persen dan 90,00 persen meskipun hanya menangani 174 dan 20 pasien. Sementara, beban kasus tertinggi berada di Kota Samarinda (883 pasien) dan Balikpapan (747 pasien) dengan TSR masing-masing 75,42 persen dan 77,38 persen. TSR terendah tercatat di Kabupaten Penajam Paser Utara, yakni hanya 69,64 persen.

Andi meminta pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan Kaltim, untuk meningkatkan pengawasan dan edukasi kepada pasien agar tidak berhenti berobat. Tak hanya itu, ia juga mendorong adanya pelibatan keluarga dan kader kesehatan di tingkat komunitas untuk memastikan pasien menjalani pengobatan secara tuntas.

“Ini soal pendampingan dan edukasi. Kalau tidak diawasi, pasien bisa putus obat. Dan itu tidak hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga lingkungan karena TBC bisa menular,” tegasnya.

Dinas Kesehatan Kaltim dalam infografisnya mengklasifikasikan daerah berdasarkan capaian TSR. Wilayah dengan keberhasilan di atas 90 persen masuk zona hijau, sementara zona kuning mencakup daerah dengan TSR 71–89 persen. Lalu wilayah dengan capaian rendah berada di zona oranye hingga merah, menandakan perlunya perhatian khusus.

Dengan tingginya angka putus berobat, Komisi IV DPRD menilai perlunya strategi lebih agresif untuk menurunkan beban TBC di Kaltim, termasuk memperkuat sistem pelaporan dan akses terhadap layanan pengobatan yang terjangkau dan mudah diakses.

Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan | ADV DPRD Kaltim

Tag: