RUU Masyarakat Adat Mendesak Disahkan jadi UU untuk Melindungi Hak Komunal dan Ulayat di Kaltim

Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Anggi Putra Prayoga, saat memaparkan urgensi UU Masyarakat Adat. (FOTO ISTIMEWA)

BALIKPAPAN.NIAGA.ASIA – Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat jadi Undang-undang (UU) masih tertunda di DPR RI. Sementara itu, masyarakat adat di Kalimantan Timur menghadapi risiko kehilangan hak atas tanah dan hutan adat mereka. Bagi masyarakat adat, tanah dan wilayah adat bukan sekadar aset ekonomi, melainkan bagian dari kehidupan sosial, spiritual, dan ekologis.

Hak komunal diatur dalam PermenATR/BPN No. 9 Tahun 2015 dan No. 10 Tahun 2016, berupa hak kepemilikan kolektif masyarakat adat atau bukan adat. Hak ulayat, yang diakui dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, merupakan hak kolektif masyarakat hukum adat atas penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan wilayah adat secara turun-temurun.

Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Badan Legislasi DPR RI, I Nyoman Parta, menyampaikan bahwa saat ini tengah terjadi perdebatan soal nama RUU, apakah UU Masyarakat Adat atau UU Masyarakat Hukum Adat.

Menurutnya, kekhawatiran muncul terkait potensi lahirnya feodalisme baru, namun hal ini bisa ditangani.

“Kekhawatiran muncul tentang lahirnya feodalisme baru tapi ini bisa saya tapis, raja-raja kecil yang berhadapandengan modal, serta anggapan bahwa tanah komunal akan menghambat pembangunan. Namun negara harus hadir dengan regulasi yang jelas, karena semakin lama UU ini tertunda, konflik akan terus terjadi,” jelas Nyoman, dalam keterangannya yang diterima Niaga.Asia, Selasa (26/8/2025).

Ia menyebut bahwa masyarakat adat memiliki kontribusi positif terhadap lingkungan.

“Masyarakat adat memproduksi kebaikan. Tidak perlu diragukan. Soal urusan lingkungan tidak ada tandingannya,” tegasnya.

Senada, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP lainnya, Mercy Barends, menekankan pentingnya peran masyarakat adat dalam menjaga ekosistem.

“Masyarakat adat itu benteng terakhir hutan, gunung, pesisir, dan pulau-pulau kecil kita. Tanpa mereka, ruang hidup kita akan tercerabut,” ujarnya.

Mercy menjelaskan terkait resistensi antar-kementerian menjadi salah satu faktor pelik yang menghambat pengesahan RUU. Sektor sumber daya alam, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan, hingga agraria memiliki kepentingan yang melekat pada pendapatan negara.

Ia juga mengungkapkan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat di DPR RI terhambat oleh lima faktor utama. Pertama, faktor politik, terutama tarik-menarik kepentingan antar-fraksi, di mana beberapa mendukung tetapi ada yang khawatir RUU ini berbenturan dengan kepentingan investasi besar.

Selain itu, menurut Mercy, hambatan juga muncul dari faktor ekonomi, hukum dan regulasi, sosial-budaya, serta teknis, yang semuanya turut mempengaruhi percepatan pengesahan RUU tersebut.

Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan,Catharina Dewi Wulansari, menekankan bahwa ketika tanah diambil, pengetahuan lokal, kepercayaan, dan tradisi masyarakat adat juga ikut hilang.

“Karena itu, RUU MA harus memberikan perlindungan menyeluruh agar masyarakat adat tidak semakin tersisih,” ungkapnya.

Hendra Gunawan dari Forest Watch Indonesia menyoroti ancaman terhadap hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah adat.

“Tanpa pengakuan dan perlindungan yang tegas, Indonesia punya potensi kehilangan hutan alam, keanekaragaman hayati, sumber pengetahuan lokal, dan bisa gagal mencapai target komitmen iklim global,” tutur Hendra.

Di Kalimantan Timur, masyarakat adat seperti Dayak Wehea dan Dayak Paser menghadapi tekanan terhadap wilayah adat mereka akibat alih fungsi hutan dan dominasi investasi.

Berdasarkan catatan AMAN Kaltim, sejumlah konflik agraria dan kasus kriminalisasi menimpa komunitas adat, termasuk di wilayah Kutai Kartanegara, di mana masyarakat adat menolak keberpihakan aparat terhadap perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU).

Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Anggi Putra Prayoga, menegaskan UU Masyarakat Adat merupakan jawabannya.

“Tanpa pengakuan hukum, masyarakat adat dan lingkungan hidup di Kaltim akan terus terancam,” tandas Anggi, saat dikonfirmasi terpisah.

Data terbaru menunjukkan, pada 2024 tercatat 121 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat di Indonesia, dengan 140 komunitas terdampak dan luas wilayah adat yang terampas mencapai 2,8 juta hektar.

Sebanyak 67% konflik agraria disebabkan ekspansi perkebunan kelapa sawit, yang berdampak pada ribuan keluarga dan memicu kekerasan terhadap petani.

Baginya, kondisi tersebut menekankan urgensi pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi masyarakat adat di Kaltim.

“RUU Masyarakat Adat bukan sekadar pencapaian legislatif. Pengesahannya menjadi langkah strategis untuk melindungi hak konstitusional masyarakat adat, menjaga keberlanjutan ruang hidup, dan melindungi lingkungan, termasuk di Kaltim, di tengah arus investasi dan pembangunan,” tutup Anggi.

Penulis : Putri | Editor : Intoniswan

Tag: