Sapto Marah, KSOP Sebut Pemprov Bisa Kelola Kawasan Tambat

Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sapto Setyo Pramono. Foto : Nai/Niaga.Asia

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sapto Setyo Pramono marah-marah dan menuntut pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan melibatkan pemerintah provinsi dalam mengelola alur pelayaran di sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dan 12 mil wilayah lauh dari pantai.

“Kalau tidak bisa, kita rebut. Jangan sampai Kalimantan Timur tidak punya urusan, bumi, air, laut ini memang milik Republik Indonesia, tapi Kaltim juga punya hak yang adil atas sumber dayanya,” kata Sapto, Senin malam (28/4/2025)  usai membahas kondisi dan situasi fender jembatan Mahakam I usai ditabrak ponton batubara hari Sabtu malam (26/4/2025) dalam RDP antara Komisi II DPRD Kaltim dengan KSOP Samarinda, Kejaksaan, dan lainnya.

Menurut Sapto, Kementerian Perhubungan dan pemerintah pusat kerap mengabaikan Kalimantan Timur, meski menyumbang besar bagi perekonomian negara.

“Biar didengar Pak Dirjen. Kalau ada kejadian, baru Jakarta mikirkan. Tapi kalau tidak, tidak pernah. Seribu triliun kita kasih ke Republik ini, tapi yang dikembalikan ke Pemprov Kaltim hanya 8 triliun, itu pun disendat-sendatkan transfernya ke daerah. Kalau perlu, suruh bikin jembatan dan sungai sendiri saja. Kalimantan Timur juga bagian dari republik ini. Jangan dianaktirikan,” sambungnya.

Pemprov bisa kelola kawasan tambat

Menanggapi pernyataan keras Sapto tersebut, Kepala KSOP Kelas I Samarinda, Mursidi, menjelaskan bahwa berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 1989, jarak antara Jembatan Mahakam I dan Mahulu memang sekitar 7 kilometer, dan area penambatan ideal seharusnya berjarak minimal 1,5 kilometer  dari bawah jembatan.

“Kami menyampaikan bahwa tambat yang dilakukan saat kejadian berada di luar area yang ditentukan, di bawah Big Mall. Itu bukan lokasi yang aman. Kami juga mencatat bahwa kejadian terjadi di luar jam pengolongan,” jelas Mursidi.

KSOP juga mengusulkan agar ke depan dibuka jadwal pengolongan 24 jam dengan tetap memperhatikan pasang surut air untuk menghindari penumpukan kapal dan risiko tambatan liar.

“Kami juga berharap pemerintah daerah bisa mengambil alih pengelolaan daerah tambatan. Karena selama ini tambat dilakukan di lokasi-lokasi milik warga, dan pemilik kapal membayar ke masyarakat. Ini sebenarnya bisa menjadi sumber PAD,” kata Mursidi.

Ia menambahkan, kejadian ini menunjukkan perlunya kehadiran sistem asis (kapal bantu) saat kapal hendak tambat, sebagai bagian dari mitigasi risiko.

“Kami melihat bahwa saat kapal melakukan tambat, harus ada asis. Pemerintah daerah bisa ambil peran di sini, bekerja sama dengan KSOP untuk mengelola tambatan, labuhan, dan keselamatan.” pungkasnya.

Penulis : Nai | Editor : Intoniswan | ADV DPRD Kaltim 

Tag: