Terapan K3 di Pelayanan Gigi dan Mulut Di Puskesmas: Fondasi Sehat Menuju Asta Cita Presiden Prabowo

Oleh: Zheditya Ayu Syawalia

Penulis adalah Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman dan Dokter Gigi di Puskesmas Air Putih

Zheditya Ayu Syawalia.

Pendahuluan

Dalam konteks Indonesia, puskesmas merupakan garda terdepan pelayanan kesehatan primer. Namun, aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di bidang kedokteran gigi masih belum menjadi prioritas utama.

Jika kita menilik visi pembangunan nasional yang tertuang dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, penguatan layanan kesehatan dasar dan perlindungan tenaga kerja merupakan bagian integral dari transformasi sistem kesehatan nasional.

Sebagai seorang dokter gigi yang kini menempuh pendidikan magister di bidang Kesehatan Masyarakat, saya melihat bahwa penerapan K3 di fasilitas pelayanan primer seperti puskesmas masih belum mendapatkan perhatian penting. Penerapan K3 sangat penting, karena praktik kedokteran gigi memiliki risiko tinggi terhadap paparan infeksi, cedera ergonomis, dan kontaminasi bahan kimia.

Dalam konteks Indonesia, di mana puskesmas menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat, urgensi penerapan K3 di bidang kedokteran gigi tidak bisa dinomerduakan.

Risiko Kerja dalam Praktik Kedokteran Gigi

Praktik kedokteran gigi melibatkan interaksi langsung dengan pasien, termasuk kontak dengan darah, saliva, dan aerosol yang berpotensi menularkan penyakit menular seperti hepatitis B, hepatitis C, dan  HIV/AIDS.

Selain itu, posisi kerja yang statis dan repetitif dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal seperti nyeri punggung, leher, dan tangan. Paparan bahan kimia dari bahan tambalan, disinfektan, dan anestesi juga berisiko menimbulkan gangguan pernapasan dan iritasi kulit.

Di puskesmas, kondisi ini diperparah oleh keterbatasan sumber daya. Banyak fasilitas belum memiliki sistem ventilasi yang memadai, alat pelindung diri (APD) yang lengkap, atau protokol sterilisasi yang sesuai standar. Akibatnya, tenaga kesehatan gigi bekerja dalam kondisi yang rentan terhadap kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

K3 sebagai Pilar Mutu Pelayanan

Pasien yang datang ke puskesmas berhak mendapatkan layanan yang aman dan bebas dari risiko infeksi silang. Tanpa sistem K3 yang baik, potensi terjadinya penularan penyakit antar pasien melalui alat yang tidak steril sangat tinggi. Hal ini tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga mencoreng citra puskesmas sebagai fasilitas kesehatan publik yang paling sering diakses.

Selain itu, K3 juga berkontribusi terhadap efisiensi operasional. Tenaga kerja yang sehat dan terlindungi dapat bekerja lebih produktif, mengurangi absensi, dan meningkatkan kepuasan kerja. Sebaliknya, insiden kerja yang tinggi akan menambah beban biaya, mengganggu alur pelayanan, dan menurunkan kepercayaan masyarakat.

Dalam Asta Cita, Presiden Prabowo menekankan pentingnya peningkatan kualitas layanan kesehatan, penciptaan lapangan kerja yang layak, dan perlindungan terhadap tenaga kerja. K3 di bidang kedokteran gigi menjawab langsung tiga dari delapan cita tersebut: memperkuat layanan dasar, meningkatkan kesejahteraan tenaga medis, dan menciptakan sistem kerja yang aman dan produktif.

Regulasi dan Implementasi di Lapangan

Secara regulatif, Indonesia telah memiliki landasan hukum yang cukup kuat terkait K3 di fasilitas kesehatan. Permenkes No. 58 Tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan mewajibkan setiap puskesmas membentuk Tim K3, menyusun rencana kerja, dan melakukan pembinaan secara berkala. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan.

Di Kota Samarinda, kondisi penerapan K3 di puskesmas masih menghadapi sejumlah tantangan yang cukup nyata. Meskipun Samarinda merupakan kota besar di Kalimantan Timur, banyak puskesmas di wilayah ini, terutama yang berada di kecamatan pinggiran dan kawasan dengan akses terbatas, masih mengalami keterbatasan dalam hal sumber daya manusia yang benar-benar memahami prinsip-prinsip K3 secara mendalam.

Pelatihan K3 belum sepenuhnya menjadi bagian dari program rutin di sebagian besar puskesmas, sehingga kesadaran dan penerapan standar keselamatan kerja masih belum merata.

Walaupun belum sepenuhnya pernah terpapar mengenai pentingnya K3, petugas puskesmas seluruh Kota Samarinda  sudah dilengkapi dengan APD (Alat Pelindung Diri) standar, tata cara dan waktu mencuci tangan yang tepat, proses sterilisasi dan desinfektan alat-alat kedokteran gigi sesuai standar, serta pengelolaan limbah medis secara benar.

Dalam kerangka Asta Cita, pemerintah berkomitmen untuk memperkuat tata kelola dan good governance di sektor publik. Maka, penguatan sistem K3 di puskesmas harus menjadi bagian dari reformasi birokrasi dan peningkatan efisiensi pelayanan

Peran Tenaga Kesehatan Gigi dalam Mendorong K3

Sebagai tenaga kesehatan gigi, kita memiliki peran strategis dalam mendorong penerapan K3 di puskesmas. Pertama, melalui edukasi sesama rekan kerja dan manajemen puskesmas tentang pentingnya K3. Kedua, dengan menjadi teladan dalam penerapan prosedur kerja yang aman, seperti penggunaan APD, sterilisasi alat, dan pengelolaan limbah medis.

Dalam konteks pendidikan, mahasiswa magister Kesehatan Masyarakat memiliki tanggung jawab lebih besar untuk mengintegrasikan perspektif sistemik dalam advokasi K3. Kita tidak hanya melihat masalah dari sisi klinis, tetapi juga dari aspek kebijakan, manajemen risiko, dan epidemiologi. Dengan pendekatan ini, kita dapat merancang intervensi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.

Transformasi Budaya Kerja

Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan K3 adalah membangun budaya kerja yang menjadikan keselamatan sebagai prioritas. Di banyak puskesmas, K3 masih dipandang sebagai urusan administratif atau beban tambahan. Padahal, budaya kerja yang mengutamakan keselamatan akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, harmonis, dan produktif.

Transformasi budaya ini harus dimulai dari pimpinan puskesmas, didukung oleh kebijakan yang jelas, pelatihan yang berkelanjutan, dan sistem reward-punishment yang adil. Tenaga kesehatan gigi juga harus dilibatkan secara aktif dalam proses ini, karena mereka adalah pelaku langsung yang memahami risiko kerja di lapangan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penerapan K3 di bidang kedokteran gigi dalam layanan puskesmas bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Dalam era transformasi sistem kesehatan nasional, di mana layanan primer menjadi fokus utama, K3 harus menjadi bagian dari strategi peningkatan mutu pelayanan. Pemerintah, akademisi, dan tenaga kesehatan harus bersinergi untuk membangun sistem K3 yang kuat, terintegrasi, dan berkelanjutan.

Sebagai dokter gigi dan mahasiswa magister Kesehatan Masyarakat, saya mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan K3 sebagai budaya kerja, bukan sekadar kewajiban. Karena di balik setiap senyum sehat dari pasien  yang kita rawat, ada tanggung jawab besar untuk menjaga keselamatan semua pihak yang terlibat.

K3 bukan beban tambahan. Ia adalah investasi: investasi bagi kesehatan tenaga medis, keselamatan pasien, mutu pelayanan, sekaligus kepercayaan masyarakat. Dengan menempatkan K3 sebagai prioritas, kita tidak hanya melindungi pekerja kesehatan gigi di Puskesmas, tapi juga memperkuat pondasi bagi terwujudnya visi Asta Cita Presiden—Indonesia yang sehat, tangguh, dan berdaya saing.@

Tag: