
CILEGON.NIAGA.ASIA – Gelombang penutupan industri dalam negeri masih terjadi dalam beberapa tahun terakhir, mulai dari tekstil hingga elektronik. Kondisi ini bukan hanya memengaruhi sektor hilir, tetapi juga industri hulu seperti petrokimia yang memasok bahan baku utama bagi manufaktur nasional.
Situasi tersebut menjadi perhatian Anggota Komisi VII DPR RI, Tifatul Sembiring, saat mengikuti Kunjungan Kerja Komisi VII dalam rangka meninjau operasional PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Banten.
“Ada nggak pengaruhnya serapan daripada pengguna produk dari Lotte Chemical ini dengan terjadinya masalah-masalah tersebut? Bahkan tahun lalu PHK itu hampir dua juta lebih (orang) dengan menurunnya itu (produksi dalam negeri), ada nggak terindikasi gitu penurunan permintaan produk daripada chemical ini?” tanya Tifatul dalam kunjungan yang diselenggarakan pada Jumat (21/11/2025).
Menanggapi hal itu, perwakilan PT LCI, Jojok Hardijanto tidak secara langsung menguraikan dampak bangkrutnya sejumlah industri terhadap serapan produknya. Namun ia memaparkan beberapa tantangan besar yang tengah dihadapi industri petrokimia dan industri nasional secara keseluruhan. Salah satunya adalah bea masuk terhadap LPG sebagai bahan baku utama industri petrokimia, yang dinilai membuat harga produk dalam negeri kurang kompetitif dibanding produk impor.
Selain beban biaya produksi, Jojok juga menyoroti derasnya masuk barang impor dengan harga murah, terutama ketika terjadi praktik dumping. Kondisi itu, menurutnya, membuat persaingan menjadi tidak seimbang antara produsen lokal dan produk luar negeri yang membanjiri pasar.
“Inilah kami butuh kehadiran dari pemerintah untuk bisa mendukung industri dalam negeri supaya tidak pelan-pelan mati. Dulu sempat keramik hancur, habis itu ada tekstil, ada elektronik nah ini akan berantai terus kalau tidak ada peran dari pemerintah,” ujar Jojok.
Ia menambahkan bahwa pelaku industri tidak menuntut perlakuan khusus, tetapi membutuhkan kebijakan yang memastikan iklim usaha berjalan secara adil. “Mohon support terutama import barrier biar kami mandiri di negeri sendiri. Kami tidak butuh special treatmenttetapi paling nggak kita bisnis dengan fair,” lanjutnya.
Usai rapat, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty menyampaikan bahwa masukan dari kunjungan ini akan dibawa dalam pembahasan formal di ruang Komisi. Ia menjelaskan bahwa Komisi VII saat ini memiliki Panja Daya Saing Industri yang berfokus pada peningkatan daya saing industri nasional secara lintas sektor.
“Ya tentunya kita akan rapat di komisi ya dengan industri terkait. Karena ini juga ada kaitannya dengan perdagangan ya. Ini benar-benar lintas sektoral. Ini karena sifatnya Panja Daya Saing, jadi kita bisa memanggil nanti lintas K/L yang terkait,” ujar Evita yang juga merupakan ketua Panja Daya Saing Industri.
Berbagai faktor eksternal dipandang memberi tekanan besar terhadap kekuatan industri nasional. Masifnya impor pakaian jadi dan kain dalam beberapa tahun terakhir membuat lebih dari 60 perusahaan tekstil kolaps hanya dalam dua tahun.
Di sisi lain, oversupply baja dari China yang tengah menghadapi tarif tinggi dari Amerika Serikat mendorong risiko dumping ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Kondisi ini berpotensi menekan harga baja di pasar domestik dan semakin melemahkan pelaku industri lokal.
Jika produk impor terus membanjiri pasar tanpa pengaturan yang memadai, dampaknya tidak hanya dirasakan industri hilir. Industri hulu, termasuk petrokimia yang memasok bahan baku bagi manufaktur juga berisiko kehilangan pasar ketika industri hilir melemah atau tutup. Hal ini disinyalir mengancam keberlangsungan rantai pasok nasional secara keseluruhan.
Sumber: Humas DPR RI | Editor: Intoniswan
Tag: ImporTifatul Sembiring