
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Di balik deretan pergudangan megah di kawasan Bukit Pinang, Samarinda, tersimpan cerita getir warga yang saban hujan harus berjibaku dengan banjir. Mereka merasa pembangunan yang harusnya membawa kemajuan, justru mengorbankan keselamatan dan kenyamanan warga sekitar.
Seorang warga bernama Achmad, yang sudah tinggal di kawasan Perumahan Bukit Pinang lebih dari 16 tahun lamanya, menyebut bahwa kondisi banjir yang semakin ganas di daerah tersebut mulai dirasakan sejak hampir satu dekade terakhir, setelah adanya pematangan lahan untuk pergudangan.
“Sebelumnya, banjir memang sudah ada, tapi biasa saja. Tidak separah sekarang. Sekarang seperti ombak sedang. Gunung-gunung yang tinggi sudah dipotong habis, dibuang semua. Jadi kalau hujan sedikit saja, air itu langsung meluap,” ujarnya kepada Niaga.Asia, Kamis (4/9).
Kenangan paling pahit bagi Achmad terjadi pada 2021, ketika banjir bandang menerjang rumah-rumah warga, khususnya yang berada di RT 12 dan RT 13. Arus deras bahkan berani menyeret mobil dan pagar rumah milik warga. Kala itu, menjadi banjir paling parah yang pernah dialami warga.
Ironisnya, sebelum banjir itu terjadi, warga sudah berulang kali memperingatkan agar pembangunan pergudangan memperhatikan drainase dan lainnya. Namun hingga kini, RT 12 dan RT 13 belum juga memiliki drainase, sementara kawasan lain sudah dibuatkan.
“Anehnya, mereka buka lahan tanpa membuat parit dulu. Padahal aturannya jelas, sebelum pematangan lahan harus buat parit lebih dulu. Blok sebelah sudah dibuatkan parit. Kalau di blok kami belum ada. Janjinya saja dari dulu,” jelasnya.
Selepas banjir besar, Achmad bersama warga lain berusaha bersuara. Mereka bersurat ke pemerintah, melapor ke dinas, hingga bertemu langsung dengan pihak dari DPRD Samarinda. Namun, yang mereka terima hanya janji-janji palsu tak pernah ditepati.
“Pernah ada orang dinas dan dewan datang cuman ukur-ukur. Setelah reda (banjir), hilang lagi. Tidak ada tindak lanjut,” keluhnya.

Hal yang membuat Achmad semakin heran dan geleng-geleng kepala adalah setiap kali forum pertemuan diadakan, warga terdampak langsung yang tinggal di daerah bawah justru jarang dilibatkan. Sebaliknya, yang diundang kerap kali warga dari kawasan atas.
“Yang dipanggil malah orang-orang atas saja, bukan kami. Suara warga bawah (rumah di dataran rendah) tidak pernah terdengar,” imbuhnya.
Pasca banjir 2021 diakuinya, sebuah polder kecil dibangun pada tahun 2022. Namun bagi warga di daerah ini, keberadaan polder tidak cukup besar untuk menahan derasnya curah hujan yang semakin ekstrem.
“Iya, memang ada polder, tapi ukurannya kecil. Saya khawatir kalau tidak jebol, pasti itu meluap. Dan yang kena tetap kami di bawah sini,” terangnya.
Tak berhenti sampai di situ, Achmad juga kerap kali menyuarakan keresahan warga melalui unggahan di akun Instagram yang ia buat, yakni @korban_banjir_bukitpinang.
Berulang kali ia membagikan video banjir, kerusakan, hingga testimoni warga yang terdampak, dengan harapan ada pihak yang peduli. Namun, hingga kini tak juga ada respon yang benar-benar menyentuh kebutuhan warga.
Kini, setiap kali awan mendung menggantung di langit Samarinda, warga yang tinggal di RT 12 dan RT 13 Perumahan Bukit Pinang hanya bisa pasrah dengan rasa was-was. Mereka tahu jika hujan kian deras, berarti banjir akan kembali datang.
“Iya, jadi selalu waspada saat hujan. Karena banjirnya deras, bukan genangan biasa lagi. Pernah teras rumah orang itu jebol dihantam banjir. Apalagi, ini kelihatannya pematangan lahan di daerah sana semakin meluas ke arah atas. Kami jadi semakin khawatir,” paparnya.

Bagi masyarakat, tragedi banjir yang menimpa mereka bukan hanya kerugian materi. Namun pembangunan di Samarinda dirasa semakin timpang, hanya menguntungkan investor, tapi merugikan masyarakat kecil.
Warga Bisa Tuntut Pertanggungjawaban
Direktur Pusat Studi Perkotaan Planosentris, Farid Nurrahman, menilai hal pertama yang harus diperiksa dari kasus ini adalah aspek legalitas pembangunan pergudangan. Sebab, setiap pengembang wajib mengantongi surat Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), izin lingkungan, hingga izin bangunan (PBG) sebelum melakukan pembukaan atau pelebaran lahan.
“Secara aturan, pengembang harus menunggu izin terbit dulu. Tapi kebiasaannya, sambil izin diproses, lahan sudah lebih dulu dibuka. Padahal itu menimbulkan dampak lingkungan yang akhirnya dirasakan warga,” katanya, Kamis (4/9).
Dalam kasus ini beber dia, warga memiliki hak penuh untuk menuntut pertanggungjawaban dari pengembang. Ia juga menilai bahwa apa yang dilakukan warga dengan melaporkan ke pemerintah kota, kelurahan, atau kecamatan itu sudah benar. Karena detail engineering design dari pengembang seharusnya ditinjau ulang, apakah sudah mengantisipasi dampak lingkungan.
“Untuk drainase harusnya dilakukan dua pihak, dari pemerintah maupun sisi pengembang pergudangan harusnya juga melakukan itu,” tuturnya.
Pergudangan sudah sesuai RTRW
Sementara itu, Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kota Samarinda, Nurvina Hayuni, menjelaskan bahwa keberadaan pergudangan di Bukit Pinang sudah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) lama pada 2014, yang masih mengacu di masa kepemimpinan Wali Kota Syaharie Ja’ang.
“Secara RTRW, pergudangan diperbolehkan sebagai kegiatan perdagangan dan jasa yang mendukung perumahan. Artinya secara perencanaan sesuai,” ucapnya, Kamis (11/9) di Kantor PUPR Samarinda.

Meski begitu, Nurvina mengakui bahwa kolam retensi yang seharusnya dibuat, sempat tidak dilaksanakan. Kejadian itu pun membuat Wali Kota turun langsung, dan pengembang dipaksa membuat kolam retensi dengan pintu air.
“Kalau untuk drainase, apakah itu sudah pernah diajukan dalam Musrenbang. Karena terkait kegiatan harus melalui Musrenbang. Kan enggak mungkin tiba-tiba masuk dalam list kegiatan yang diusulkan,” tegasnya.
Terkait perizinan, Nurvina Hayuni menegaskan bahwa pergudangan di Bukit Pinang dibangun sebelum adanya aturan KKPR. Ketetapan itu baru berlaku setelah adanya Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020.
“Sekitar tahun 2021 itu baru keluar aturan turunannya. Jadi izin lama mereka tidak menggunakan KKPR,” tambahnya.
Namun, ia menegaskan bahwa jika ke depan ada rencana pembukaan atau perluasan lahan baru, izin yang diajukan wajib mengacu pada RTRW terbaru tahun 2023.
“Kalau ada perluasan, otomatis harus ikut aturan yang baru. RTRW yang sekarang tidak mungkin menentang yang lama, tapi pasti sejalan karena sudah ditetapkan,” bebernya.
DPRD Janji Tindaklanjuti
Sekretaris Komisi I DPRD Samarinda Fraksi PDI Perjuangan Ronal Stephen Lonteng pun menanggapi keluhan masyarakat Perumahan Bukit Pinang dengan menyebut pihaknya akan segera menindaklanjuti laporan itu.
“Saya akan cek dulu data-datanya. Nanti kita lihat penyebabnya apa. Kalau memang ada indikasi kesengajaan, pasti ada penindakan. Tinggal siapa yang nanti akan kita panggil untuk dimintai pertanggungjawaban. Segera saya akan meminta tim atau saya sendiri akan cek ke sana,” pungkasnya, Kamis (11/9).
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: Banjir