Kebijakan HPP GKP dan HET Beras Serta Kerawanan Pangan di Kaltim

Oleh: Teguh Wahyono, M.B.A., Aff.W.M., QCRO, PIA*

Stok beras di Gudang Bulog Samarinda. (niaga.asia/Nur Asih Damayanti)

Angin segar telah berhembus bagi para petani padi Indonesia dengan ditetapkannya Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras.

Keputusan tersebut menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen (GKP) di Ɵngkat petani sebesar Rp 6.500 per kilogram (kg) dan meniadakan rafaksi harga gabah. Dibanding tahun lalu, nilai HPP GKP meningkat RP 500, yakni Rp 6000,- per kilogram.

Pemerintah mengkaim lahirnya kebijakan tersebut sebagai langkah nyata dari tekad pemerintah untuk melindungi petani sebagai elemen penting dalam kerangka percepatan swasembada pangan. Penetapan HPP GKP ini merupakan keberpihakan kepada petani padi, sekaligus sebagai instrumen untuk meningkatkan serapan gabah/beras dalam negeri.

Dengan peningkatan harga GKP diharapkan petani tertarik untuk segere menjual hasil panennya ke pemerintah (Bulog) sehingga dapat dikonversi menjadi Cadangan beras dalam negeri.

Untuk memuluskan 2 (dua) tujuan tersebut Kementerian Koordinator Bidang Pangan kemudian menugaskan Bulog untuk melaksanakan pengadaan gabah dan beras dalam negeri pada tahun 2025 dengan target sebanyak 3 juta ton setara beras per bulan.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyatakan bahwa panen pada Januari dan Februari masing-masing 1,31 juta ton beras dan 2,08 juta ton beras, lalu pada Maret melonjak menjadi 5,20 juta ton beras. Angka tersebut telah melampaui konsumsi beras sebesar 2,5 juta ton per bulan atau mengalami surplus bulanan. Produksi beras masih akan surplus seiring musim panen raya hingga bulan Mei 2025.

Angka Konversi Gabah Menjadi Beras

Untuk menjadi beras, panenan padi petani harus melalui 2 (dua) tahap konversi, yakni: Konversi Gabah Kering Panen (GKP) menjadi Gabah Kering Giling (GKG), dan Konversi GKG menjadi Beras. Angka konversi GKP menjadi GKG umumnya sebesar 86,02 persen., artinya jika kita melakukan pengeringan 1 ton GKP maka akan diperoleh GKG sebanyak 860,2 Kg.

Angka konversi ini diperoleh dengan mengurangi 100 persen bobot GKP dengan 2 (dua) komponen pengurang: Pengurangan kadar air sebesar 10,71 persen dan Kehilangan secara fisik sebesar 3,27 persen. Adapun Angka konversi GKG menjadi beras umumnya berkisar antara 62,74 – 65%.

Jenis konversi ini sering juga disebut angka rendemen penggilingan yang digunakan untuk menghitung susut penggilingan. Beras yang dihasilkan dari proses penggilingan kemudian dikelompokkan berdasarkan kualitasnya.

Pengelompokan kualitas beras di pasaran umumnya dilakukan berdasarkan jumlah patahan. Gambaran Pengelompokan kualitas beras selengkapnaya tersaji pada tabel dibawah ini:

Ketentuan Harga Beras

Beras telah menjadi makanan pokok bagi hampir seluruh warga negara Indonesia. Meski di banyak literatur terdapat bahan pangan sebagai makanan pokok bagi masyarakat di beberapa daerah tertentu, tapi faktanya bahwa popularitas beras sebagai sumber makanan pokok mengalahkan sumber pangan pokok bagi bangsa Indonesia terus meningkat.

Sayangnya tidak semua daerah di Indonesia merupakan daerah penghasil beras sehingga mampu memenuhi kebutuhan beras di daerah tersebut, Swasembada beras. Artinya, beberapa daerah harus mendatangkan beras dari daerah lain.

Konsekwensinya, harga beras di daerah yang tidak/belum swasembada akan menjadi lebih mahal karena harus memasukkan komponen biaya logistik / transportasi dalam setiap kilogram beras yang dikonsumsi warganya.

Fakta lainnya adalah tata-niaga beras di daerah non-swasembaga cenderung memiliki ‘Rantai Pasok’ yang lebih panjang sehinga mengakibatkan peningkatan harga di tingkat konsumen.

Menyikapi hal tersebut pemerintah kemudian menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat konsumen menurut kualitas dan Zona Konsumen. Berdasarkan pembagian Zona Harga HET beras diketahui bahwa hanya sedikit daerah di Indonesia yang telah berstatus swasembada beras: Jawa, Lampung, Lampung, Sumatra Selatan, Sulawesi, NTB dan Bali.

Selain daerah-daerah tersebut merupakan daerah-daerah yang belum dapat melakukan swasembada beras, termasuk Kalimantan.

Rincian pembagian Zona HET Beras selengkapnya tersaji pada tabel berikut:

Akhirnya, dengan mudah dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan HET beras di daerah-daerah yang belum Swasembada akan bergantung pada 2 (dua) vareabel: Kemampuan daerah yang telah swasembada untuk menghasilkan beras dengan harga dibawah HET, dan selisih ketentuan HET daerah swasembada dan daerah non-swasembada yang besarannya tidak lebih besar dari biaya ongkos angkut dan bongkar-muat komoditas antar daerah tersebut.

Simulasi perhitungan akibat berubahan kebijakan HPP GKP dari Rp 6000,- menjadi Rp 6500,- telah kami lakukan, kemudian diperoleh simpulan bahwa perubahan/penyesuaian ketentuan HET beras  mengakibatkan mekanisme pasar di Kalimantan mustahil dapat menyediakan beras medium sesuai dengan ketentuan HET pemerintah. Hal ini disebabkan dengan HPP GKP sebesar Rp 6500,- maka akan diperoleh Harga Besar Medium di Tingkat pedagang besar (Gudang/Grosir) sebesar Rp 13.299, Jauh melampaui ketentuan HET sebesar Rp 12.500,-.

HET beras medium Rp 12.500,- hanya mungkin tersedia oleh Gudang atau Penggilingan yang menjual langsung kepada Konsumen, atau Bulog dengan menyediakan beras SPHP dengan catatan rantai pasok beras SPHP tidak lebih dari 2 (dua) pelaku usaha setelah Gudang Bulog. Singkatnya, kebijakan terbaru terkait HPP GKP dan Ketentuan HET saat ini membuka peluang besar untuk lahirnya praktek monopoli beras medium yang dilakukan oleh Bulog.

Di Kalimantan Timur, Penyediaan Beras Medium dengan harga sesuai ketentuan HET saat ini hanya bertumpu pada menyediakan SPHP Bulog. Hal ini terjadi karena ongkos angkut beras (Rp850,- per kilogram) lebih besar dibanding selisih HET Beras medium antara Zona 1 dan Zona 2 (sebesar Rp 600 per kilogram).

Untuk jangka pendek, HET beras medium sesuai ketentuan hanya bisa diwujudkan dengan pemberian subsidi kepada para pelaku usaha. Subsidi untuk pengendalian harga dan pasokan dapat diberikan melalui 3 (tiga) skema, yakni :

1.Subsidi Angkutan atau ongkos angkut untuk mendatangkan beras medium dari Gudang/Grosir di daerah Swasembada sampai ke Kalimantan Timur.

2.Subsidi pada produk yang didatangkan oleh pelaku usaha untuk setiap kuota yang didatangkan ke Kalimantan Timur.

3.Subsidi langsung kepada konsumen pada setiap pembelian beras medium.

Untuk Jangka Panjang, Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 14 Tahun 2025 sebagai salah satu instrumen menciptakan ketahanan pangan nasional melalui penyediaan stok cadangan beras di gudang-gudang (Bulog) tidak boleh diterima secara pasif oleh daerah yang belum swasembada seperti Kaltim. Faktanya, Ketika Bulog mengunci cadangan berasnya di gudang, dipastikankan hampir seluruh beras medium yang beredar di Kaltim melampaui ketentuan HET.

Kondisi saat ini mestinya menyadarkan Pemerintah Daerah Kaltim untuk meningkatkan produksi beras lokal sehingga mengurangi ketergantungan Kaltim kepada Pasokan beras dari daerah lain.

Singkatnya, “Ketahanan pangan Kaltim jangan bertumpu pada berapa banyak cadangan beras di gudang (Bulog) tetapi seberapa banyak padi yang telah tertanam di Bumi Etam”.

*) Penulis adalah Kepala Divisi Bisnis PT Kaltim Melati Bhakti Satya (Perseroda) 

Tag: