Judi

Cerpen Karya: Efrinaldi

Ilustrasi

Ketika aku merenovasi rumah, aku pernah berhubungan dengan seorang tukang kampung yang pandai bekerja. Kerjanya bagus, rapi dan bisa diajak berdiskusi. Tapi sayang dia seorang pejudi dan juga tidak salat. Bagiku tidak begitu masalah, yang penting pekerjaannya bagus. Karena pekerjaannya bagus aku membayar upahnya setiap hari sewaktu dia mau pulang kerja. Aku mau menerapkan anjuran agama agar membayar upah sebelum keringat orang yang diupah kering.

 

Dia mendapat upah Rp150.000 sehari. Itu jumlah yang cukup besar di kampungku. Upah untuk menggarap sawah atau kebun hanya Rp80.000 sehari. Setelah sebulan mengerjakan pekerjaan renovasi rumahku, pekerjaan hampir selesai. Tinggal dua hari lagi akan selesai total. Tiba-tiba dia berkata, “Pinjam uang dua juta rupiah, Pak!”

“Bukankah pekerjaannya tinggal dua hari lagi?” tanyaku.

“Iya, upah dua hari mendatang memang cuma tiga ratus ribu rupiah. Tapi saya butuh uang. Nanti saya bayar sebab, saya ada pekerjaan juga yang menunggu setelah kerja di sini,” jelasnya.

Aku berpikir. Kok bisa dia kehabisan uang, pada hal upahnya teratur aku kasih setiap hari. Aku mau tahu bagaimana dia mengelola uangnya. Tetapi aku tidak mungkin menanyakan langsung padanya. Aku katakan, “Nanti aku bicarakan dulu dengan istriku,” jawabku mengelak.

Aku menemui istriku di dapur. Kuceritakan perihal tukang yang mau pinjam uang. Istriku bilang, “Jangan dipinjamkan. Dia sepertinya tidak jujur. Dia pernah meminjam charger HP dan tidak dikembalikan, katanya sudah dikembalikan dengan meletakkan di atas meja ruang tamu. Tidak pasti juga kejadian sebenarnya, tetapi istriku terlanjur tidak mempercayainya.

“Kok bisa ya dia kehabisan uang. Padahal upahnya cukup besar,” tanyaku pada istriku.

“Dia suka berjudi!” kata istriku.

“Kok kamu tahu?” tanyaku.

“Dia sendiri yang menceritakan,” jelas istriku.

“Walah, pantas dia kehabisan uang. Semestinya begitu pekerjaan dengan kita selesai, dia punya uang sisa. Kok malah mau mengutang,” kataku seperti menggerutu.

“Begitulah. Banyak orang kampung demikian, karena berjudi kehabisan uang dan malah suka mengutang ke sana ke mari,” kata istriku lebih lanjut.

Aku memang dengar demikian. Kini marak judi online. Memang pejudi tidak menghabiskan waktu berjudi seperti judi memakai kartu mainan, tetapi yang namanya judi pasti tidak menguntungkan. Uang yang beredar di perjudian sebagian besar akan tersedot pada pengelola judi.  Penjudi hanya kebagian sebagian kecil. Secara matematika peserta judi akan defisit terus dalam jangka panjang. Lebih berbahaya lagi, orang akan tebuai imian palsu, berharap suatu saat bisa menang judi dalam jumlah besar, sehingga tidak fokus berikhtiar dengan cara-cara yang benar.

***

Perjudian adalah penyakit masyarakat. Sejak aku kecil tahun 1970-an aku tahu masyarakat suka berjudi dengan main kartu “koa”, sejenis permainan kartu. Kemudian pemerintah orde baru juga melegalkan judi dengan nama PORKAS yang katanya untuk menggalang dana untuk pembiayaan olahraga. Jelas, PORKAS  bertujuan menyedot dana masyarakat dari peserta judi. Masyarakat tidak tahu, kalau dia telah melakukan pekerjaan yang tidak menguntungkan.

Kini merebak judi online. Sesuatu yang semestinya diberantas agar masyarakat hidup lebih realistis dalam masalah penghasilan/ keuangan. Yang jelas judi itu haram hukumnya. Siapa yang harus mulai memberantasnya?

Tag: