JAKARTA.NIAGA.ASIA – Jaringan pelaku TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) ada yang mengeksploitasi korbanya setiba di luar negeri jadi pekerja seks komersial (PSK), bekerja di rumah judi online, jadi pekerja jaringan penipuan dan pemerasan lintas negara di dunia maya.
Sedangkan modus pemberangkatan calon pekerja, jaringan pelaku TPPO, ada yang terang-terangan secara ilegal, ada pula yang diberangkatkan dengan visa yang bukan untuk bekerja. Calon pekerja yang dikirim tanpa pelatihan, dan diberangkatkan oleh perusahaan yang tidak terdaftar.
Lebih lanjut, praktik kejahatan para sindikat ini juga menawarkan pekerjaan di luar negeri dengan gaji tinggi kepada para korban. Namun, setelah tiba di negara tujuan, korban ada yang dieksploitasi sebagai pekerja seks komersial (PSK).
Modusnya menawarkan pekerjaan, tetapi setelah sampai di negara lain tidak dipekerjakan sesuai dengan apa yang dijanjikan. Bahkan ada beberapa pekerja yang dijadikan pekerja seks komersial.
“Mereka dipaksa menandatangani perjanjian jaminan utang seolah-olah mereka punya utang yang harus dibayarkan. Ini modus untuk mengikat mereka supaya mereka mau tetap bekerja. Paspor diambil dan berkas administrasi lainnya juga ditahan,” ungkap Kabareskrim Polri Komjen Pol Wahyu Widada dalam konferensi pers yang terhubung secara daring dengan 34 Polda jajaran di Bareskrim Polri, Jumat (22/11/2024).
Dalam konferensi pers tersebut, Bareskrim Polri juga mengundang perwakilan dari Kementerian P2MI/BP2MI, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan
Pelaku TPPO juga eksploitasi anak
Wahyu juga mengungkapkan modus eksploitasi terhadap anak melalui aplikasi online untuk dipekerjakan sebagai PSK. Kemudian ada beberapa kasus anak di bawah umur juga dipekerjakan sebagai LC (Ladies Companion) di tempat-tempat hiburan malam di dalam negeri.
“Kemudian ada juga yang disalurkan ke negara-negara lain sebagai PSK. Mengimingi-imingi (anak-anak) gaji yang besar dipekerjakan di pabrik dan perkebunan secara ilegal di negara lain di Asia Tenggara,” imbuhnya.
Selain itu, modus TPPO lainnya yakni mempekerjakan anak buah kapal (ABK). Namun tanpa sepengetahuan, korban dipindahkan ke kapal yang lain. Hal ini, kata Wahyu, akan sulit bagi Pemerintah untuk mendeteksi keberadaan para korban.
“Mereka saat diberangkatkan tidak dibekali kemampuan maupun administrasi sebenarnya. Korban juga dipaksa untuk memenuhi target-target. Kalau tidak bisa memenuhi target, akan menerima konsekuensi berupa tindakan kekerasan dari para pelaku,” ujarnya.
Wahyu menegaskan dari sekian banyak pengungkapan kasus ini, untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak kejahatan perdagangan orang, Polri akan menerapkan pasal berlapis, yaitu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan pidana penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Lebih lanjut, Wahyu mengungkapkan bahwa sepanjang satu bulan terakhir ini ada tiga Polda yang pengungkapan kasus TPPO-nya cukup besar, yakni Polda Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Utara, dan Polda Kepulauan Riau.
Dari pencapaian yang dipaparkan oleh para Direskrimum tersebut, para tersangka memanfaatkan panjangnya perbatasan Indonesia-Malaysia dan Indonesia-Singapura. Para tersangka berusaha menyelundupkan para PMI nonprosedural ini melalui jalur-jalur tikus melalui jalur darat kemudian laut menggunakan kapal-kapal kecil.
“Rekan-rekan dari para tersangka memiliki peran yang berbeda-beda. Ada yang sebagai perekrut, penyalur, tempat penampungan, dan ada juga yang bertindak sebagai mucikari,” ucapnya.
Selain itu, dari pencapaian pengungkapan kasus TPPO ini, Polri berhasil menyelamatkan kerugian negara hingga Rp284 miliar.
Wahyu kembali menegaskan komitmen Polri untuk terus melakukan pemberantasan TPPO baik dari sisi pencegahan maupun penindakan hukum terhadap para pelaku.
“Kita juga melaksanakan langkah-langkah yang menjadi kantong massa tempat asal korban, titik-titik penampungan untuk kita analisa dan melakukan penegakan hukum,” tandasnya.
Wahyu juga mengatakan bahwa upaya yang dilakukan ini tidak akan berhasil tanpa bantuan stakeholder terkait, yakni Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, serta Kementerian Luar Negeri.
“Kami tidak bisa bekerja sendirian, karena dalam kegiatan pengungkapan ini tentu kita selalu bekerja sama dengan Kementerian P2MI, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, serta Kementerian Luar Negeri yang khususnya memberikan perlindungan warga negara kita yang berada di luar negeri,” tandas Wahyu.
Sumber: Divisi Humas Polri | Editor: Intoniswan
Tag: TPPO