Agus Bantah Rusak Mangrove dan Keterlibatan Oknum Anggota DPRD di Setabu

Kelompok petani rumput laut Setabu memperlihatkan batas patok kawasan konservasi dengan lahan milik keluarga Agus. (Foto Istimewa)

NUNUKAN.NIAGA.ASIA– Ahli waris pemilik tanah di lokasi pembukaan  lahan  Desa Setabu, Kecamatan Sebatik Barat, membantah telah merusak mangrove dan  keterlibatan oknum anggota DPRD Nunukan, dalam kegiatan membangun aliran sungai dan penjemuran rumput laut,.

“Kami pinjam alat berat milik anggota DPRD Nunukan Andre Pratama untuk membuka lahan, tapi beliau tidak terlibat dalam kegiatan itu,” kata Agus pada Niaga.Asia, Rabu (08/02/2023).

Permohonan peminjaman alat berat Andre disepakati bersama oleh kelompok petani rumput laut dan sebelum pekerjaan pembukaan lahan, Agus bersama warga juga telah memberitahukan  kegiatan ke kepala desa (kades) Setabu.

Lahan milik orang tua Agus atas nama Rahim Bin Patcin adalah bekas tambak ikan yang telah lama tidak difungsikan, sehingga lahan tersebut ditumbuhi pohon – pohon nipah dan mangrove liar.

“Luas lahan awalnya 100 x 200 meter persegi, lalu berkurang jadi 84 x 150 meter persegi karena terpotong kawasan konservasi,” jelasnya.

Sebagai masyarakat asli tempatan, Agus menyesalkan himbauan penghentian pembukaan lahan yang menurut dugaan penyidik Reskrim Polres Nunukan, masuk kawasan konservasi dan hutan mangrove.

Lahan yang dikuasai puluhan tahun secara sah oleh Rahim Bin Patcin dilengkapi dengan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) yang diterbitkan tahun 1985 oleh pejabat Desa Setabu Mohd Sidik.

“Kalau surat tanah saya tidak sah, kenapa kami pinjam uang di bank bisa menggunakan jaminan surat itu,” tuturnya.

Surat Pernyataan Penguasaan Tanah oleh orang tua Agus yang disahkan kepala desa dan aparat pemerintah setempat tahun 1985. (Foto Istimewa)

Agus menerangkan, keluarganya telah menempati Desa Setabu sejak tahun 1970 dan sejak itu pula orangtuanya menguasai lahan yang rencananya akan dibuka untuk kelancaran usaha rumput laut warga Sebatik.

Tidak hanya menyesalkan tindakan kepolisian, kelompok petani rumput laut suku tempatan heran dengan sikap pemerintah daerah yang secara tidak langsung menuding warga melakukan pengrusakan hutan mangrove.

“Coba lihat disana adakah bekas pohon mangrove dan apakah kegiatan kami merusak kawasan konservasi, hampir semua lahan ditanami pohon nipah ,” bebernya.

Sementara, Kades Desa Setabu, Ramli, mengatakan, lokasi pembukaan lahan untuk aktivitas usaha rumput laut yang dihentikan Kepolisian berada di atas tanah milik keluarga Agus yang posisinya berbatasan kawasan konservasi.

“Dulunya orang tua saya ketua RT menjaga lahan-lahan disini agar tidak abrasi dan dirusak masyarakat,” ujarnya.

Memasuki tahun 2010, tokoh masyarakat bersama kades sepakat menyerahkan lahan-lahan kepada pemerintah untuk kawasan konservasi ditandai pagar besi dan tiang beton, di lokasi tersebut terdapat pula jembatan dan gapura.

Penetapan luasan lahan konservasi dan hutan mangrove di luar tanah dikuasai oleh orang tua Agus dan masyarakat Desa Setabu lainnya. Namun anehnya, lahan-lahan milik masyarakat tersebut dinyatakan masuk kawasan hijau aplikasi peta milik kepolisian.

“Saya sempat adu argumen dengan Polisi, itukan sudah jelas ada patok kawasan konservasi, kenapa lagi lahan masyarakat bisa masuk aplikasi kawasan hijau,” bebernya.

Pembukaan lahan semata-mata untuk peningkatan ekonomi petani rumput laut, harusnya pemerintah mendukung upaya swadaya warga, berbeda jika pembukaan lahan merusak tanaman mangrove.

“Kita usulkan pemerintah pelebaran aliran sungai dan bangun jemuran rumput laut tidak dihiraukan, sekarang warga bangun sendiri malah dilarang,” pungkasnya.

Penulis : Budi Anshori | Editor : Intoniswan

Tag: