
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Aktivis Kalimantan Timur (Kaltim) Asia Muhidin mengecam keras aktivitas tambang ilegal yang baru-baru ini terjadi di sekitar kawasan Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda.
Asia Muhidin, yang juga Ketua Umum Forum Pemuda Pemantau Kebijakan (FP2K) Kaltim merasa bahwa tambang Ilegal ini merupakan kejahatan lingkungan terstruktur, terorganisir dan harus ditindak tegas oleh aparat penegak hukum (APH) agar tidak terulang kembali.
Berdasarkan klarifikasi yang dilakukannya pada 5 April 2025 bersama Dekan Fakultas Kehutanan dan Ketua Laboratorium KHDTK Unmul, Rustam, aktivitas tambang ilegal itu terjadi di sekitar kawasan Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS), yang berada dalam area KHDTK seluas 300 hektare.
Meski sering disebut bagian dari Unmul, Asia sapaan akrabnya, menegaskan bahwa lahan yang digunakan untuk pendidikan itu, secara legal milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia.
“Perlu diluruskan, ini bukan tanah milik Unmul. Ini milik KLHK yang dikerjasamakan dengan Fakultas Kehutanan. Jadi pengelolanya bukan institusi Unmul secara keseluruhan, melainkan hanya pihak fakultas untuk keperluan riset, pendidikan, dan pelestarian,” ujarnya, Rabu (9/4).

Dari hasil penelusuran lapangan, ditemukan lima unit alat berat yang digunakan untuk menambang secara ilegal. Usai diidentifikasi, aktivitas ilegal itu diduga kuat dilakukan oleh manajemen Koperasi Serba Usaha (KSU) Putra Mahkamah Mandiri.
“Ini benar-benar kita sayangkan ya. Mereka memanfaatkan kelengahan saat hari libur untuk merusak hutan yang selama ini jadi tempat mahasiswa melakukan penelitian. Ini bukan sekadar ilegal, ini bentuk kejahatan lingkungan,” terangnya.
Lebih jauh, Asia juga mengingatkan pengelola, yakni laboratorium KHDTK untuk benar-benar serius dalam menjaga aset KLHK dengan baik agar kejadian serupa tak terulang kembali.
“Karena ini untuk kepentingan pendidikan bagi para mahasiswa. Maka sudah seharusnya ada langkah serius untuk menjaga dan mengelola kawasan ini dari tindakan ilegal,” katanya.
Hal lain yang disayangkannya adalah dampak ekologis yang ditimbulkan akibat tambang ilegal ini. Tak hanya mengganggu habitat satwa liar seperti orangutan, beberapa pohon langka termasuk pohon ulin dilaporkan tumbang akibat aktivitas alat berat.
“Pohon ulin itu tidak tumbuh dalam waktu singkat. Diperlukan 40–50 tahun untuk bisa tumbuh sebesar itu. Kerusakan ini tidak hanya soal pohon tumbang, tapi soal hancurnya ekosistem dan terganggunya proses penelitian akademik,” tambahnya.
Ia mendesak agar APH segera menuntaskan penyelidikan, dan menyeret pihak-pihak yang bertanggung jawab ke jalur hukum. Asia juga mendorong agar KLHK dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim dapat lebih agresif menuntaskan kasus ini.
“Saya minta KLHK serius mengawal kasus ini. Jangan hanya jadi ajang pencitraan. Harus ada produk akhir dari proses hukum bagi para pelaku, yakni pidana bagi pelaku, pencabutan izin usaha, dan ganti rugi terhadap kerusakan lingkungannya. Jadi bukan hanya denda saja yang diberikan, jika terbukti mereka punya IUP, maka harus dicabut, karena sudah melanggar batas kawasan,” paparnya.
Ke depannya, Asia juga menyarankan agar KHDTK diberikan pengamanan tambahan, seperti pembangunan pagar di sekitar lokasi dan jalur inspeksi untuk memudahkan patroli pengawasan.
Ia juga mendorong partisipasi aktif dari kalangan akademisi, termasuk mahasiswa S1 hingga S3, untuk melakukan monitoring rutin di kawasan tersebut.
“Jangan sampai kejadian seperti ini terulang. Fakultas Kehutanan, KLHK, dan Dinas ESDM Kaltim harus duduk bersama, buat sistem perlindungan yang konkret. Ini bukan hanya hutan biasa, ini laboratorium hidup untuk masa depan,” tutupnya.
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan