Aktivis: Indonesia Tidak Bisa jadi Satu-satunya Negara Selamatkan Kapal Pengungsi Rohingya

Kapal kayu yang ditumpangi pengungsi suku Rohingya saat terdampar di pesisir pantai Kuala Gigieng, Aceh Besar, Aceh, Minggu (08/01). [FOTO ANTARA via BBC News Indonesia]
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Aktivis kemanusiaan mengatakan perlu respons regional untuk menyelamatkan para pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di lautan.

Selama ini hanya Indonesia yang mengizinkan para pengungsi Rohingya untuk turun dari kapal, meskipun tujuan akhir kebanyakan dari mereka adalah Malaysia.

“Tetapi satu-satunya cara mereka bisa pergi ke Malaysia adalah mencoba pergi ke Indonesia terlebih dahulu. Ini adalah masalah dan juga saya takut semakin banyak kapal akan melakukan itu,” kata Chris Lewa dari Arakan Project, kelompok advokasi yang menangani pengungsi Rohingya.

Sebuah kapal yang membawa 184 pengungsi Rohingya, mayoritas perempuan dan anak-anak, mendarat di Kabupaten Aceh Besar pada hari Minggu (08/01). Ini adalah kapal kelima yang membawa pengungsi Rohingya ke Indonesia sejak bulan November, menurut pihak berwenang.

Empat kapal sebelumnya mendarat di Aceh Besar pada bulan November dan Desember 2022, membawa total lebih dari 400 penumpang.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri mengatakan persoalan pengungsi Rohingya “harus diselesaikan dari tempat permasalahan” – baik di wilayah Rakhine, Myanmar, maupun di Bangladesh.

Sekitar satu juta etnis Rohingya diperkirakan tinggal di kamp pengungsi di Bangladesh setelah mereka mengungsi dari persekusi di Myanmar pada 2017.

Benarkah kapal Rohingya digiring ke Indonesia?

Sebelumnya sejumlah media melaporkan bahwa Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib, mengklaim bahwa pihak asing sengaja mengirim kapal pengungsi Rohingya ke Aceh untuk kemudian diselundupkan ke Malaysia. CNN Indonesia dan Tribun Aceh, antara lain, menyebut para pengungsi dibekali alat GPS yang langsung terkoneksi ke sejumlah lembaga internasional, baik itu LSM maupun kedutaan besar.

Achsanul Habib mengatakan kepada BBC News Indonesia pada Senin (09/01) bahwa media telah “salah mengutip” perkataannya, tetapi menolak mengklarifikasi lebih lanjut.

Chris Lewa mengatakan pihaknya memang melacak koordinat GPS satu kapal pengungsi yang mendarat di Kabupaten Pidie, Aceh pada tanggal 26 Desember lalu, namun tujuannya ialah memastikan mereka bisa diselamatkan.

Ia menjelaskan bahwa timnya, yang berbasis di Thailand, telah berkontak dengan keluarga orang-orang di atas kapal. Kapal pengungsi jarang memiliki telepon satelit sehingga para penumpang dapat mengontak keluarga mereka di Bangladesh.

“Jadi kami minta setiap kali mereka menelepon untuk memberi kami koordinat GPS,” kata Chris kepada BBC News Indonesia.

Sejumlah perempuan etnis Rohingya terdampar di pantai desa Kampung Baru, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh, Besar, Aceh, Minggu (8/1/2023). [ANTARA FOTO vias BBC News Indonesia
Ketika mereka pertama kali menerima koordinat GPS pada tanggal 5 Desember, mereka mengetahui bahwa kapal sedang dalam masalah karena mesinnya rusak dan para pengungsi terkatung-katung di lautan.

Chris dan rekan-rekan aktivisnya mengumpulkan koordinat GPS dan mengirimkannya ke PBB dan sejumlah kedutaan besar. Mereka berusaha supaya siapapun bisa menyelamatkan kapal tersebut, tidak hanya Indonesia.

Menurut Konvensi Internasional tentang Pencarian dan Penyelamatan Maritim (IMO), setiap negara memiliki zona tempat mereka bertanggung jawab untuk melakukan penyelamatan di lautan.

Koordinat GPS mengindikasikan bahwa India sempat menghentikan kapal tersebut dan kemudian mengarahkannya ke Indonesia. Para penumpang kapal mengonfirmasinya, kata Chris.

GPS juga menunjukkan bahwa selama sebagian besar waktu kapal tersebut terkatung-katung di lautan, ia berada di wilayah penyelamatan Malaysia – karena itu pada bulan Desember, sejumlah aktivis termasuk Dokter Tanpa Batas (MSF) meminta pemerintah Malaysia untuk menyelamatkan kapal yang membawa 174 pengungsi itu.

“Jadi masalahnya sebenarnya bukan kami yang mengarahkan kapal ke Indonesia. Melainkan pemerintah lain,” kata Chris.

Pasalnya, tidak ada negara di kawasan kecuali Indonesia yang mengizinkan para pengungsi Rohingya untuk turun dari kapal.

“Jadi menurut saya, sangat jelas mengapa para Rohingya mendarat di Indonesia, karena tidak ada negara lain yang mau menerima mereka. Tidak Malaysia, tidak Thailand, tidak India.

“Sejauh ini hanya Indonesia yang telah menerima mereka, tetapi tujuan akhir mereka bukan Indonesia. Tujuan akhir mereka adalah Malaysia, tetapi satu-satunya cara mereka bisa tiba di Malaysia adalah dengan mencoba pergi ke Indonesia terlebih dahulu. Dan itu masalah karena, dan juga saya takut, lebih banyak kapal akan melakukan ini,” Chris menjelaskan.

Sesampainya di Indonesia, banyak pengungsi yang kemudian membayar hingga puluhan juta rupiah kepada penyelundup manusia demi bergabung dengan keluarga mereka di Malaysia. Indonesia dan Malaysia sama-sama belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, namun Malaysia menjadi negara tujuan utama bagi para pengungsi Rohingya karena berbagai alasan.

Sejak awal Januari, sudah hampir 30 pengungsi melarikan diri dari tempat penampungan sementara di Kota Lhokseumawe. Aparat setempat mengatakan tidak tahu pasti tujuan mereka tetapi menduga kuat mereka menuju ke Malaysia.

Menurut Chris, ini menunjukkan perlunya respons regional. Indonesia tidak bisa menjadi satu-satunya negara yang menyelamatkan kapal Rohingya.

“Ini perlu dilakukan dengan berkoordinasi dengan kawasan. Dan itu satu-satunya jalan menurut saya,” ujarnya.

Chris menjelaskan Indonesia bukan satu-satunya negara yang menjadi unwilling transit bagi pengungsi Rohingya. Thailand juga mengalami masalah yang sama karena sebagian pengungsi Rohingya menyeberang dari Myanmar ke Thailand, sebelum lanjut ke Malaysia.

Selain itu, aparat penegak hukum perlu melakukan penangkapan pada orang-orang yang terlibat dalam penyelundupan imigran Rohingya, seperti yang dilakukan Polda Aceh pada 2020. Tetapi masalahnya, kata Chris, hampir belum pernah ada penyelundup yang ditangkap di Malaysia atau Bangladesh. Ia menduga kuat otoritas Bangladesh tidak peduli dengan persoalan ini.

Perlu ditangani di ‘tempat permasalahan’     

Sejumlah imigran etnis Rohingya terdampar di pantai di Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (08/01).

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa penanganan masalah pengungsi tidak bisa diselesaikan dengan apa yang terjadi di lapangan namun kuncinya “harus diselesaikan dari tempat permasalahan, apakah itu di wilayah Rakhine atau di Bangladesh”.

Juga, dalam konteks yang lebih besar, menghentikan konflik yang terjadi di wilayah Rakhine. “Itu belum bisa kita lakukan di saat sekarang tanpa kooperasi atau kerja sama antara pemerintah Myanmar dengan pihak-pihak yang berkonflik,” kata Faizasyah.

Dua pengungsi Rohingya yang menderita sakit mendapat perawatan saat terdampar di pesisir pantai Kuala Gigieng, Aceh Besar, Aceh, Minggu (8/1/2023). [ANTARA FOTO vias BBC News Indonesia]
Dalam konferensi pers usai pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Senin (09/01), Presiden Joko Widodo tidak membahas tentang pengungsi Rohingya namun menekankan pentingnya pelaksanaan Lima Poin Konsensus dalam menyelesaikan konflik di Myanmar.

Lima Poin Konsensus adalah kesepakatan yang dibuat oleh sembilan pemimpin ASEAN dan pemimpin junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing pada pertemuan tingkat tinggi di Jakarta, 24 April 2021.

Lima poin itu adalah: penghentian kekerasan di Myanmar; dialog antara semua pemangku kepentingan; penunjukan utusan khusus; mengizinkan bantuan kemanusiaan oleh ASEAN; serta membuka akses bagi utusan khusus ASEAN untuk bertemu dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar.

Banyak yang menyebut Lima Poin Konsensus ini telah gagal, dan menyarankan agar ASEAN menyerahkan persoalan Myanmar ke PBB.

Sejauh ini, sebanyak 184 pengungsi Rohingya yang mendarat pada hari Minggu (08/01) ditempatkan di tempat penampungan sementara milik dinas sosial di Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.

Otoritas setempat mengatakan para pengungsi terdiri dari 69 laki-laki dewasa, 75 perempuan, 40 anak – salah satu perempuan tersebut dalam keadaan hamil.

Penanganan para pengungsi dibantu oleh Organisasi Migrasi Internasional (IOM) dan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Perwakilan UNHCR di Aceh Besar, Diovio Alfad, mengatakan saat ini yang diutamakan ialah pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi yaitu makan, minum, dan obat-obatan.

Sejak November 2022, sedikitnya 656 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh. Kepala Satgas Penanganan Pengungsi, Bambang Pristiwanto, mengatakan pemerintah sedang mencarikan tempat untuk akomodasi tetap para Rohingya di Pekanbaru, Medan, atau Tanjung Pinang.

UNHCR sebelumnya mengatakan bahwa 2022 merupakan tahun paling mematikan bagi para pengungsi Rohingya sejak 2013 dan 2014, ketika lebih dari 900 dan 700 orang dilaporkan meninggal dunia atau hilang.

**) Artikel ini disadur dari BBC News Indonesia yang sudah tayang dengan judul “Indonesia tidak bisa jadi satu-satunya negara yang selamatkan kapal pengungsi Rohingya – aktivis”.

 

Tag: