
SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Banyak korban kekerasan dalam relasi ‘berpacaran’ memilih untuk diam. Bukan hanya karena takut pada pelaku, tetapi juga karena tidak mendapatkan dukungan dari keluarga sendiri.
Fenomena tersebut diungkap oleh Koordinator Paralegal Perempuan Muda Sebaya (PPMS) Perempuan Mahardhika Samarinda, Disya Halid, yang aktif mendampingi perempuan muda korban kekerasan di Kota Samarinda khususnya, dan Kalimantan Timur (Kaltim) pada umumnya.
“Sebelum korban berani untuk melapor, untuk berbicara saja itu mengalami intimidasi dan judge. Mau ngomong ke orang tua saja sering kali tidak berani. Karena justru keluarga yang pertama kali menghakimi, bukan mendukung,” kata Disya saat ditemui di Samarinda, Jumat (4/4).
Menurutnya, kekerasan dalam pacaran masih dianggap sebagai ‘urusan pribadi’. Banyak orang tua yang lebih memilih menyalahkan anak perempuannya atas apa yang terjadi, ketimbang memahami kondisi dan kebutuhan korban. Padahal, kekerasan tetaplah kekerasan—terlepas dari relasi antara pelaku dan korban.
“Karena relasi pacaran tidak diakui dalam hukum, korban sulit mencari keadilan. Tapi sebenarnya, jika dilihat dari sisi perlindungan perempuan dan anak, mereka tetap berhak mendapat perlindungan dan pendampingan,” ujarnya.
Maka itu, PPMS yang dibentuk dan bagian dari organisasi Perempuan Mahardhika Samarinda adalah respon atas tingginya kasus kekerasan yang dialami perempuan muda, khususnya dalam konteks pacaran.
“Apapun statusnya, mau pacaran atau seperti apa, harusnya korban itu tetap mendapatkan keadilan. Sekarang kita konsen ke perempuan muda sebaya atau setara, karena mayoritas korban itu berasal dari kalangan remaja dan perempuan muda, mereka kebanyakan takut untuk speak-up” tuturnya.
Minimnya dukungan dari lingkungan sekitar membuat banyak korban merasa sendirian dan tidak berdaya. Karena itu, lanjut Disya, Perempuan Mahardhika berkomitmen untuk memberikan pendampingan dan menciptakan ruang aman bagi korban.
“Kita hadir mendampingi korban, memberikan ruang aman, dan membantu mereka mencari keadilan sesuai kebutuhan dan keinginan korban itu sendiri,” tambahnya.

Disya menegaskan, fokus utama mereka bukan hanya pendampingan hukum, tapi juga membangun sistem dukungan emosional dan sosial agar korban tidak merasa sendiri dalam perjuangannya.
“Jangan takut untuk melapor, kami akan bantu hingga selesai,” tegasnya.
Adapun jumlah kasus kekerasan pada dewasa dan anak di Kota Samarinda mencapai hingga ratusan korban selama lima tahun terakhir (2020-2024). Mayoritas korban dari kekerasan seksual adalah perempuan.
Di tahun 2020, terdapat 291 kasus dengan 299 korban (229 perempuan, 70 laki-laki). Di 2021, ada 240 kasus dengan 258 korban (223 perempuan, 35 laki-laki). Di 2022, ada 458 kasus, dengan 466 korban (399 perempuan, 67 laki-laki).
Sementara di tahun 2023, terdapat 494 kasus, dengan 540 korban (444 perempuan, 96 laki-laki). Dan untuk di tahun 2024, terdapat 245 kasus, dengan 278 korban (229 perempuan, 49 laki-laki).
Penulis: Lydia Apriliani | Editor: Intoniswan
Tag: KDRT