
NUNUKAN.NIAGA.ASIA – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nunukan bersama Bapenda Provinsi Kalimantan Utara, menggelar sosialisasi kepatuhan perpajakan dan elektronifikasi transaksi Pemerintah Daerah di Nunukan, Kamis (13/2/2025).
“Ini sosialisasi pertama di tahun 2025, memang tahun lalu juga ada sosialisasi serupa dengan peraturan yang sama Peraturan Daerah (Perda) 01 tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah,” kata kepala Bapenda Nunukan, Fitraeni pada Niaga.Asia, Kamis (13/02/2205).
Masing – masing pemerintah baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam mengelola pajak. Khusus untuk Kabupaten Nunukan ada 8 jenis pajak yang dapat dipungut sebagai pendapatan asli daerah (PAD).
Salah satu pajak daerah itu adalah Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang dibayarkan oleh konsumen atas konsumsi barang dan atau jasa tertentu seperti, makanan/minum, tenaga listri, jasa perhotelan, jasa parkir serta jasa kesenian dan hiburan.
“Kepatuhan pelaku usaha memenuhi kewajibannya yakni memungut dan menyetor pajak yang dipungutnya ke kas daerah masih sangat rendah, tapi kami tetap berupaya mengedukasi bahwa wajib pajak dikenakan kepada konsumen, jadi tidak merugikan pemilik usaha,” jelasnya.
Selain belum maksimalnya pendapatan BPJT, Fitraeni menerangkan, pengawasan terhadap pelaku usaha melaporkan pajak yang dipungutnya masih sulit untuk mendapatkan angka pastinya sebab, rata-rata pengusahatidak memiliki pembukuan.
Sebagai contoh, restoran penyedia makanan dan minum di Nunukan hampir seluruhnya tidak memiliki pembukuan, sehingga pemerintah tidak bisa memastikan besaran pajak yang harus dibayarnya.
“Sekarang ini hanya Bapenda mengandalkan kejujuran dari pemilik restoran, kami tidak bisa memastikan mereka harus bayar berapa. Intinya pajak restoran 10 persen” bebernya.
Meski hanya mengandalkan kejujuran pemilik usaha, pendapatan Pemkab Nunukan di sektor pajak restoran terus mengalami kenaikan tiap tahunnya. Tahun 2024 PAD dari pajak restoran Rp 27 miliar.
Pendapatan dari pajak restoran paling besar jika dibandingkan pajak pajak lainnya seperti, perhotelan senilai Rp 1 miliar, pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) galian C dan Pajak Bumi Bangunan masing-masing sekitar Rp 3 miliar ,dan BPHTB sekitar Rp 2 miliar.
“Kalau kami minta mana laporan pembukuan pasti tidak ada, makanya kami sarankan pelaku usaha menghitung dan melaporkan sendiri berapa pajak dibayarkan,” terangnya.
Penghasilan pajak makan dan minum diperoleh pula dari pelaku usahaa cetering dari perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan dan lainnya yang beroperasi di wilayah Nunukan.
Namun, lanjut dia, khusus untuk pelaku usaha koperasi atau yayasan rekanan penyedia program Makan Bergizi Gratis (MBG) belum masuk wajib pajak, karena sampai hari ini belum melaporkan kegiatannya.
“Pajak itu bersifat memaksa dan mengikat, selama ada subjek dan objek usaha, tetap wajib membayar pajak daerah,” terangnya.
Pengenaan pajak berlaku kepada pelaku usaha yang telah memiliki izin maupun non izin. Hanya saja, ada batasan kewenangan bagi pemerintah daerah dalam memungut pajak sebagaimana peraturan perundang-undangan.
“Contohnya usaha rumput laut, Pemkab Nunukan tidak bisa memungut pajak karena tidak diatur, padahal penghasilan usaha ini miliaran tiap bulan,” tutupnya.
Penulis : Budi Anshori | Editor : Intoniswan
Tag: Pajak Daerah