BANDUNG.NIAGA.ASIA -Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerangkan, penutupan pabrik skincare di Bandung untuk 30 hari adalah sebagai upaya pembinaan atas pelanggaran yang dilakukan terkait jenis kosmetik etiket biru.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM, Mohamad Kashuri, mengatakan, penutupan itu sebagai upaya pengawasan pascapemasaran, setelah izin edar keluar demi menjaga konsistensi produksinya sesuai dengan izin yang diajukan.
“Penutupan sebuah industri atau pabrik yang kami awasi ini adalah sebagai upaya pembinaan, supaya mereka bisa bangkit lagi nanti pada saatnya sesuai dengan regulasi, sesuai dengan standar produknya yang aman,” ujarnya, dilansir dari laman Antaranews, Rabu (16/10/24).
Selanjutnya ia mengatakan jika belum berbenah namun masih melakukan operasionalnya, ada sanksi pidana yang bisa dikenakan berupa penahanan belasan tahun dan denda miliaran rupiah.
“Jika masih ditutup tetapi beroperasi, ada sanksi pidana karena regulasinya mengatur demikian. Sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan, bisa dipidana maksimal 12 tahun penjara atau denda maksimal Rp5 miliar,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga mengatakan kesadaran masyarakat akan suatu produk mesti ditingkatkan dengan perkembangan teknologi saat ini seperti e-commerce, hingga grup pesan digital yang memungkinkan transaksi perdagangan secara peer to peer.
Ia mengungkapkan bahwa pihaknya tidak bisa mengontrol, sehingga masyarakat adalah benteng pertama dan terakhir. Sebagai konsumen, jangan membeli produk yang tidak wajar, misalnya dalam 1-2 hari bikin kulit putih.
“Karena kan kosmetik ini tidak semua orang cocok ya, kadang ada alergi. Ketika si toko terpercaya menjual produk yang tidak sesuai ketentuan kan bisa dilaporkan sehingga yang lain tak terkena dampak yang sama, kemudian kita juga memberikan pembinaan kepada yang produksi untuk memperbaiki formulanya, atau nanti kita minta di dalam labelnya diberikan informasi yang lebih bahwa tidak cocok untuk kulit tertentu,” ujarnya.
Terkait kosmetik etiket biru, ia mengingatkan bahwa kosmetik jenis tersebut tidak bisa dijual bebas, karena sejatinya ini adalah obat resep dokter yang ditebus di apotek yang dibuat berdasarkan keluhan kulit oleh masyarakat.
“Karena ini dibuat baru, labelnya kan tidak ada, maka apotek memberikan label warna biru yang disebut etiket biru. Nah selama ini dilakukan dengan benar, artinya dari dokter ke apotek diberikan kepada pasien yang sifatnya individualis itu tidak ada masalah, tetapi yang tidak boleh adalah bahwa ini dibikin secara massal, kemudian dijual massal bahkan online, yang bikin juga tidak memenuhi persyaratan cara produksi kosmetik yang baik, kan belum tentu cocok, jika terjadi masalah yang dirugikan ya masyarakat juga,” jelasnya.
Menurut dia, industri memiliki tanggung jawab bahwa setiap komposisi produksinya harus mempertahankan sesuai dengan yang didaftarkan dan yang dinyatakan aman, bermutu hingga diberikan izin edar.
“Pemerintah melalui BPOM melakukan pengawasan post market di pasaran melalui kegiatan sampling, kemudian pemeriksaan sarana produksi. Kalau pelaku usaha atau industrinya ini lolos ada yang tidak aman, pemerintah juga ternyata belum masuk di dalam produk yang disampling atau diawasi, maka benteng terakhir adalah konsumen yang cerdas agar bisa membentengi dirinya dari produk tak aman,” jelasnya.
Sebagai informasi, sebelumnya, BPOM menghentikan sementara produksi sebuah pabrik skincare di Bandung yang diduga terlibat dalam peredaran produk kosmetik beretiket biru secara ilegal. Skincare beretiket biru seharusnya hanya dapat diberikan setelah konsultasi dan pemeriksaan dokter. Tanpa itu, peredarannya dianggap melanggar hukum.
Pelanggaran ini makin parah karena produk yang dijual secara bebas di pasaran, termasuk di marketplace dan berpotensi mengandung bahan berbahaya, seperti merkuri dan hydroquinone. Bahan-bahan tersebut bisa menyebabkan iritasi kulit dan bahkan meningkatkan risiko kanker dalam jangka panjang.@
Tag: Skincare