Catatan Kebudayaan: Seberkas Cahaya dari Perda Pemajuan Kebudayaan

Pentas teater sebagai aktivitas kebudayaan. Anugerah kebudayaan yang diberikan Pemprov Kaltim untuk para budayawan.

KEMARIN saya mendapat kabar dari Ketua Umum Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kaltim Syafril Teha Noer di WAG PH DKD kalau Peraturan Daerah (Perda) Pemajuan Kebudayaan sudah diteken dan di-Perda-kan.

“Info dari DPRD Kaltim,” kata Syafril Teha Noer.

Alhamdulillah, ini artinya perjuangan etape awal masyarakat kesenian dan kebudayaan melalui DPRD Kaltim yang menginginkan adanya regulasi pemajuan kebudayaan sudah berhasil.

Diperlukan proses lima tahun lebih hingga perda itu disahkan dan ditetapkan DPRD dan Pemprov Kaltim. DKD Kaltim pada awal tahun 2017 membawa aspirasi itu dalam bentuk usulan (beserta draft) Perda kesenian Kaltim. Diterima Komisi IV DPRD Kaltim dengan janji aspirasi itu akan ditindaklanjuti. Lalu setelah itu tidak ada kabar lagi.

Sementara menunggu kabar itu masyarakat kesenian dan kebudayaan serta DKD gelisah. Regulasi berupa perda itu paling tidak mampu mengurangi ‘keterlantaran‘ perlakuan seni budaya di Bumi Etam ini.

Selama puluhan tahun kebudayaan gonta-ganti pengasuh. Di awal kemerdekaan bergabung dengan pendidikan. Di era kepimpinan nasional berganti, kebudayaan digabungkan dengan pariwisata.

Namun yang terjadi nasib kesenian dan kebudayaan tetap dijadikan ‘embel-embel‘, dan ‘umbul-umbul‘ oleh penguasa. Seni budaya dicari mana perlu, setelah itu kembali sendiri di jalan yang sunyi. Bak pentas wayang kulit. Dimainkan sesuai kebutuhan lakon. Setelah itu dimasukan dalam kotak.

Dalam politik anggaran seni budaya tetap jadi nomor 13. Apa boleh buat, namanya ‘anak tiri‘, kepentingan ‘anak kandung‘ selalu lebih didahulukan. Sementara itu, para penguasa dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan, “seni budaya itu penting sebagai identitas bangsa“.

Dalam setiap diskusi, dialog, seminar, lokakarya dan sejenisnya yang memperbincangkan seni budaya, masyarakat seni budaya dan lembaganya selalu mendapatkan angin segar dalam berbagai hal. Namun ketika dituntut realisasinya kepada pemerintah di berbagai tingkatan selalu tidak sesuai harapan. Bahkan istilah seorang teman, dapat ‘balak kosong‘.

Pemerintah berkilah, seni budaya belum punya regulasi di tingkat pusat dan daerah yang mengatur dalam penganggaran, fasilitasi infrastruktur dan lain-lain hal. Lain hal olahraga, misalnya.

Ada yang beranggapan, perlakuan terhadap kesenian tergantung kepada kepala daerahnya. Kepala daerahnya senang kesenian, niscaya kesenian dapat perhatian dan fasilitas. Demikian sebaliknya.

Pusat Kebudayaan dan Kesenian Taman Budaya Kaltim yang masih memerlukan pembenahan

Rupanya ‘duka lara‘ para pelaku seni budaya di ranah kebudayaan Indonesia yang terkenal kaya raya ini ditangkap para eksekutif dan legislator di pusat. Meski terjadi tarik ulur selama 15 tahun, akhirnya Presiden Joko Widodo meneken Undang-undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang disusul dengan Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2022 tentang Strategi Pemajuan Kebudayaan.

Ada empat langkah strategis pemajuan Kebudayaan dalam UU itu, yakni pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan. Banyak harapan secara nasional dengan adanya UU itu. Paling tidak sejak tahun 2020 lalu geliat pemajuan kebudayaan memperoleh dana abadi Rp 5 Triliun yang pemanfaatannya diatur Kemdikbud

Kembali ke Kaltim, selang beberapa tahun kemudian, di pertengahan tahun 2022 lalu, wakil rakyat di Karang Paci, Sarkowi V Zahry memberi kabar aspirasi masyarakat seni budaya Kaltim yang mengusulkan perda kesenian ditanggapi serius dan dijadikan perda inisiatif dewan.

Waktu berjalan, DKD diundang Bapemperda DPRD Kaltim. Kala itu Syafril Teha Noer sempat menyampaikan bahwa nasib masyarakat seni budaya Kaltim dan lembaganya dalam hal penganggaran, fasilitas dan lainnya. Sampai-sampai Syafril Teha Noer menyanyikan lagu Ebiet G Ade ‘Dari Pintu ke Pintu’. Bapemperda sepakat usulan itu dijadikan ranperda kesenian Kaltim.

Perjalanan Ranperda itu selama enam bulan ternyata berliku, penuh dinamika. Setelah RDP dengan para pihak, studi banding di beberapa provinsi, konsultasi fasilitasi dengan Kemendikbud dan Kemendagri, Ranperda itu berganti titel menjadi Ranperda Pemajuan Kebudayaan.

Cakupannya ranperda ini bukan sekadar kesenian saja tapi meliputi 10 obyek pemajuan kebudayaan (OPK) lainnya: adat istiadat, ritus, seni, manuskrip, permainan rakyat, tradisi lisan, olahraga tradisional, bahasa, teknologi tradisional dan pengetahuan tradisional.

Para seniman dan DKD berjiwa besar, tanpa banyak cincong, menerima perubahan titel ranperda itu. Lantaran aspirasi masyarakat kesenian dan DKD telah diakomodir di Perda yang di penghujung tahun 2022 lalu disahkan di DPRD Kaltim. Dan di awal tahun ini Perda telah ditetapkan pemerintah.

Seberkas cahaya kini menyinari nasib seni budaya Kaltim. Di barang tubuh Perda itu lengkap diatur pasal-pasal tentang hal ihwal pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan kebudayaan Kaltim yang berkaitan dengan penganggaran, fasilitas infrastrultur, insentif, penghargaan, tunjangan hari tua hingga sanksi bagi pemerintah dan masyarakat apabila tidak melaksanakan Perda tersebut.

Etape selanjutnya adalah pengawal pelaksanaan perda itu oleh pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan OPD terkait lainnya.

Khusus untuk Dikbud Kaltim dan Biro Hukum Pemprov Kaltim masih ada ‘tugas’ lain, merampungkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang kelembagaan Dewan Kesenian Daerah yang sudah 1,5 tahun terkatung-katung. Pergub ini menjadi sangat penting karena DKD adalah salah satu para pihak yang berkepentingan langsung dengan pelaksanaan Perda Pemajuan Kebudayaan Kaltim.

Penulis : Hamdani

Tag: