China-AS Bahas Situasi Israel-Palestina

Diplomat ternama Tiongkok, Wang Yi, terbang ke Washington untuk membahas konflik tersebut dengan Menlu AS, Antony Blinken. (GETTY IMAGES)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Ketika eskalasi tempur Israel dan Hamas semakin meningkat, terjadi perkembangan yang tidak terduga: China mengambil peran sebagai perantara perdamaian. Namun akan ada batasan terhadap pencapaian yang mungkin didapatkan China.

Diplomat ternama Tiongkok, Wang Yi, membahas situasi Israel dan Palestina dengan para pejabat Amerika Serikat di Washington beberapa waktu lalu, saat ada kekhawatiran akan muncul perang regional di Timur Tengah yang lebih besar.

Pemerintah AS telah berjanji akan bekerja sama dengan China dalam upaya menemukan resolusi.

Wang juga telah berbicara dengan koleganya di Israel dan Palestina setelah utusan khusus China untuk Timur Tengah, Zhai Jun, terbang ke wilayah tersebut untuk bertemu dengan para pemimpin di jazirah Arab. China menjadi salah satu pendukung gencatan senjata yang paling vokal dalam pertemuan-pertemuan PBB.

Ada harapan bahwa China dapat memanfaatkan hubungan dekat mereka dengan Iran, yang mendukung Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, untuk meredakan ketegangan. Merujuk laporan Financial Times, para pejabat AS menekan Wang untuk mendesak Iran.

China adalah mitra dagang terbesar Iran. Awal tahun ini China menjadi perantara dalam upaya perdamaian yang jarang terjadi antara Iran dan Arab Saudi. Iran menyatakan “siap memperkuat komunikasi dengan China” dalam menyelesaikan situasi di Gaza.

Karena China memiliki hubungan yang relatif seimbang dengan semua aktor dalam konflik ini, mereka dianggap bisa menjadi perantara yang jujur, kata Dawn Murphy, profesor di di National War College di bawah Departemen Pertahanan AS, yang mempelajari kebijakan luar negeri China.

Secara khusus, kata dia, China memiliki hubungan positif dengan Palestina, Arab, Turki dan Iran.

“Bersama dengan AS yang memiliki hubungan baik dengan Israel, mereka bisa mengajak semua pihak untuk ikut serta dalam perundingan,” ucapnya.

Namun pengamat lain berpendapat bahwa China merupakan pemain kecil dalam politik Timur Tengah.

“China bukanlah aktor yang serius dalam masalah ini. Berbicara dengan masyarakat di kawasan ini, tidak ada yang mengharapkan China berkontribusi terhadap solusi ini,” kata Jonathan Fulton, peneliti senior di Atlantic Council, yang mendalami hubungan China dengan negara-negara Timur Tengah.

Pernyataan pertama China mengenai konflik tersebut membuat marah Israel. Israel menyatakan “kekecewaan mendalam” karena China tidak mengutuk Hamas atau menyebutkan hak Israel untuk membela diri.

Milisi Hamas melancarkan serangan terhadap Israel dari Jalur Gaza pada tanggal 7 Oktober, menewaskan lebih dari 1.400 orang dan menyandera sedikitnya 239 orang.

Sejak itu Israel melancarkan serangan balasan ke Gaza, yang menewaskan lebih dari 8.000 orang. Israel kini juga telah mengirimkan pasukan dan tank ke wilayah tersebut.

Setelah kehebohan atas pernyataan pertamanya, Wang kemudian mengatakan kepada Israel bahwa “semua negara mempunyai hak untuk membela diri”.

Namun Wang juga mengatakan di tempat lain bahwa tindakan Israel telah “di luar cakupan pembelaan diri”.

China kini sulit memposisikan diri ke titik netral karena telah lama bersimpati secara terbuka terhadap Palestina.

Hal ini dimulai sejak Pendiri Partai Komunis China, Mao Zedong, mengirim senjata ke Palestina untuk mendukung apa yang dia sebut gerakan “pembebasan nasional” di seluruh dunia.

Mao bahkan membandingkan Israel dengan Taiwan, keduanya didukung AS, sebagai basis imperialisme Barat.

China punya sejarah panjang dalam berpihak pada Palestina. (GETTY IMAGES)

Dalam beberapa dekade terakhir, China membuka diri secara ekonomi dan menormalisasi hubungan dengan Israel. Mereka kini memiliki hubungan dagang bernilai miliaran dolar AS.

Namun China telah menegaskan bahwa mereka terus mendukung Palestina. Dalam pernyataan mereka mengenai konflik terbaru ini, para pejabat China dan bahkan Presiden Xi Jinping menekankan perlunya negara Palestina yang merdeka.

Salah satu efek samping dari pernyataan itu adalah meningkatnya antisemitisme di internet, yang disebarkan oleh blogger nasionalis China.

Beberapa orang di media sosial China menyamakan tindakan Israel dengan Nazisme, menuduh mereka melakukan genosida terhadap warga Palestina, yang memicu kecaman dari Kedutaan Besar Jerman di Beijing.

China punya sejarah panjang dalam berpihak pada Palestina. (GETTY IMAGES)

Namun alasan lain keterlibatan mereka yang lain adalah bahwa konflik ini memberikan peluang emas bagi China untuk meningkatkan reputasinya.

China percaya bahwa “membela Palestina selaras dengan negara-negara Arab, negara-negara mayoritas Muslim, dan sebagian besar negara-negara Selatan”, kata Murphy.

Eskalasi tempur ini meletus pada saat China menampilkan diri sebagai kekuatan alternatif yang lebih baik bagi dunia dibandingkan AS.

Sejak awal tahun ini, mereka telah mempromosikan visi tatanan dunia yang dipimpin China, sembari melontarkan kritik atas apa yang mereka lihat sebagai “kegagalan kepemimpinan hegemonik AS”.

Secara resmi, China menahan diri untuk tidak menyerang AS karena dukungannya terhadap Israel. Namun pada saat yang sama, kata Murphy, media pemerintah China memulai respons nasionalis, menghubungkan apa yang terjadi di Timur Tengah dengan dukungan AS terhadap Israel.

Surat kabar militer Tiongkok, PLA Daily, menuduh AS “menambahkan minyak ke dalam api” – retorika yang sama yang digunakan China untuk melontarkan kritik terhadap AS yang membantu Ukraina.

Surat kabar berbahasa Inggris milik pemerintah China, The Global Times, baru-baru ini juga menerbitkan kartun Paman Sam dengan tangan berlumuran darah.

Salah satu pandangan yang muncul di kalangan pengamat adalah bahwa China mempertentangkan posisi mereka terhadap AS sehingga mereka dapat menurunkan posisi pesaingnya tersebut.

Namun dengan tidak secara eksplisit mengecam Hamas, China sebenarnya juga berisiko melemahkan posisinya sendiri.

Ada berbagai tantangan yang dihadapi China dalam mewujudkan ambisi jangka panjangnya. Salah satunya adalah bagaimana mereka dapat menyelaraskan posisi diplomatik dengan rekam jejak mereka sendiri.

Meski menyatakan solidaritas dengan negara-negara mayoritas Muslim dan menentang pendudukan Israel di wilayah Palestina, China mendapat tuduhan melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan genosida terhadap minoritas Muslim Uyghur dan menjalankan asimilasi paksa di Tibet.

Para pengamat mengatakan bahwa hal ini mungkin tidak akan menjadi masalah bagi dunia Arab, mengingat kuatnya hubungan mereka dengan China.

Masalah yang lebih besar adalah pandangan soal China yang hanya terlibat di atas permukaan, atau bahkan lebih buruk lagi, memanfaatkan eskalasi konflik Israel-Hamas untuk memajukan kepentingan mereka sendiri.

China berasumsi bahwa “dengan mengatakan Anda mendukung Palestina, Anda akan mendapatkan poin dari negara-negara Arab, dan itu adalah pendekatan yang tidak memihak,” kata Fulton.

Dia menilai selama ini belum ada satu suara di antara negara-negara Arab mengenai masalah Israel-Palestina.

Wang mengeklaim China hanya mengupayakan perdamaian untuk Timur Tengah dan “tidak memiliki kepentingan egois dalam masalah Palestina”.

Tantangannya adalah meyakinkan dunia bahwa ucapan itu adalah hal yang benar.

**) Artikel itu bersumber pada BBC News Indonesia yang sudah tayang dengan judul; “Apa yang diinginkan China dari meningkatnya eskalasi tempur Israel-Hamas?” 

Tag: