Cuan Kaltim yang Dikembalikan Pemerintah Pusat Baru Sekitar 5 Persen

Dr Zulkarnain, Ketua Bidang Ekonomi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Kaltim. (Foto Istimewa)

SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Cuan. Uang yang dihasilkan sumber daya alam (SDA) Kalimantan Timur (Kaltim) yang dikembalikan Pemerintah Pusat ke Kaltim masih sangat kecil, baru sekitar 5 persen dari yang diharapkan.

Misalnya, tahun anggaran 2022, hingga 1 Desember 2022, Pemerintah Pusat hanya memberikan uang ke Kaltim sekitar baru memberikan dalam bentuk dana transfer Rp5,4 triliun yang dibagi-bagi dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH) Rp4,081 triliun, DAU (Dana Alokasi Umum) Rp755,033 miliar, DAK-Fisik Rp168,885 miliar, DAK Non Fisik Rp369,659 miliar, dan DID (Dana Insentif Daerah) Rp37,169.

“Kalau sesuai komitmen, maksimal yang bisa kita terima cuma Rp5,6 triliun, sedangkan devisa yang kita hasilkan dari SDA Kaltim di atas Rp600 triliun,” kata Dr Zulkarnain, Ketua Bidang Ekonomi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan TGUPP) Kaltim ketika diwawancarai Niaga.Asia, berkaitan HUT Ke-66 Provinsi Kaltim.

Menurut Zulkarnain, angka Rp5,4 triliun yang sudah diterima Pemprov Kaltim sampai per tanggal 1 Desember 2022 tersebut, disebutnya baru 5 persen dari yang seharus, karena masih ada 95 persen atau Rp95 triliun yang diambil Pemerintah Pusat.

“Dari 95 triliun tersebut, kemungkinan sekitar Rp5 triliun akan diberikan Pemerintah Pusat akhir tahun ini, dari pos bagi hasil pungutan ekspor CPO dan kompensasi perdagangan karbon, karena Kaltim berhasil menjaga sebagian hutannya lestari,” ungkap.

“Kalau diakumulasikan dana Kaltim yang dikembalikan Pemerintah Pusat tahun 2023 ini, baru sekitar Rp11 triliun, atau masih jauh dari yang kami perkirakan dari hitung-hitungan Rp100 triliun,” sambungnya.

Diterangkan pula, cuan dari Kaltim yang hanya Pemerintah Pusat yang mengetahui rincian besarannya, dan Kaltim tidak pernah diberitahu, lanjut Zulkarnain, adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas transaksi batubara, CPO, minyak dan gas, dan hasil alam lainnya seperti kayu dan hasil hutan lainnya.

“Kita tidak pernah tahu berapa pendapatan negara dari PPN yang dipungut dari komoditi yang berasal dari Kaltim,” ujar Zulkarnain.

Belum lagi dari beratus-ratus jenis pengutan yang dipungut instansi vertikal dari berbgai aktivitas ekonomi yang dilakukan di wilayah Kaltim dalam bentuk PNPB (Penerimaan Negara Bukan Pajak).

“Kita hanya melihat, menonton, tapi kita tidak pernah tahu jumlahnya dan tidak pernah merasakan uang PNPB itu,” tambahnya.

Harapan Baru

Meski baru mendapatkan dua komponen tambahan pendapatan bagi Kaltim, yakni kompensasi atas perdagangan karbon dan bagi hasil pengutan ekspor CPO, menurut Zulkarnain, Pak Gub (Isran Noor) terus minta tim percepatan pembangunan, berpikir dan berusaha mencari celah agar Kaltim bisa mendapatkan dana bagi hasil lebih besar di masa-masa mendatang.

Harapan baru, lanjutnya, paska disahkannya UU UU Nomor 10 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Timur, setelah diundangkan 16 Maret 2022. Hal yang baru tentang Kaltim di UU No 10 Tahun 2022 tidak banyak, tapi ada yang sangat signifikan yakni pengakuan negara terhadap Kaltim.

Pada Pasal 5 ayat (1) disebutkan; “Provinsi Kalimantan Timur memiliki karakter potensi sumber daya alam berupa hutan tetap, hutan produksi, hutan lindung, hutan konvensi, perkebunan, dan bahan galian berupa batu alam, batubara, dan minyak bumi”.

“Selain itu juga ada UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang bisa kita jadikan dasar hukum untuk Kaltim meminta bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” kata Zulkarnain.

Sekarang ini, lanjutnya, tim melakukan analisa apakah pasal tersebut bisa digunakan untuk mendapatkan dana lebih banyak dari Pemerintah Pusat. Logikanya kalau negara sudah mengakui Kaltim sebagai provinsi dengan sumber daya alam demikian, ada pengkhususan bagi Kaltim mendapat bagi hasil yang wajar.

“Bagi hasil yang wajar itu, kata Pak Gub, silakan Pemerintah Pusat mengambil 30% dari apa-apa yang dihasilkan Kaltim, tapi 70% kembalikan ke Kaltim,” kata Zulkarnain.

20 Permasalahan

Berdasarkan catatan Niaga.Asia yang dihimpun dari berbagai hasil seminar, diskusi, dan kajian terbatas tim ahli untuk kepentingan tertentu, dalam pengelolaan potensi SDA Kaltim yang tak berkeadilan sejak zaman orde baru hingga saat ini, Provinsi Kaltim menghadapi sekitar 20 permasalahan.

Permasalan itu antara lain, sektor ekonomi sangat mengandalkan migas dan batubara, akibatnya apabila kedua sektor tersebut jatuh, sektor lainnya langsung merasakan akibatnya.

Pembagian penghasilan migas seluruhnya mengalir dulu kepemerintah pusat, setelahnya baru dikembalikan dengan persentase tertentu ke Kaltim. Sektor non migas, hampir 80% berasal dari batubara. Ini berarti di luar potensi SDA non migas masih didominasi batubara, sementara penghasilan di luar itu dirasa masih kurang.

Jumlah penduduknya sedikit, sehingga tidak dapat mendukung sektor industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Upah minimum regional tinggi, karena dihitung secara persentase nasional, padahal di sisi lain tingkat kemakmuran kurang merata, sehingga meyulitkan dunia usaha untuk memenuhinya.

Permasalan lainnya yakni ketimpangan dan kualitas infrasktruktur yang rendah, di antaranya akses jalan yang masih terbatas, terutama di daerah pedalaman; jaringan telekomunikasi yang masih kurang; masih ada desa  yang belum terjangkau listrik.

Kualitas SDM yang masih rendah, sehingga harus terus ditingkatkan kualitas SDM-nya. Fasilitas pendidikan dan kesehatan yang masih terbatas di beberapa daerah.

Masih banyak bekas-bekas pertambangan yang belum direklamasi, sehingga menimbulkan persoalan terkait lingkungan hidup dan membahayakan penduduk sekitar.

PDRB bruto Kaltim yang menyumbang APBN berasal Migas, Non Migas, Non Migas dari batubara cukup besar. Tetapi dana bagi hasil yang dikembalikan untuk pembangunan Kaltim sangat rendah. Dana anggaran untuk pendidikan yang masih kecil dibandingkan dengan anggaran uang dikembalikan ke Kaltim, serta manfaatnya belum terlalu dirasakan masyarakat.

Tingkat pengangguran terbuka di Kalimantan Timur yang cukup tinggi. Persoalan pertambangan masih menjadi “pekerjaan rumah” besar yang dilematis antara kebutuhan dengan dampak negatifnya.

Potensi alam Kaltim luar besar tapi belum termanfaatkan dengan baik. Kaltim belum mendapat pembagian yang adil dari pengelolaan sumber daya alam yang selama ini terjadi. Di Kaltim masih banyak daerah dan desa-desa yang tertinggal dan tidak tersentuh pembangunan, khususnya infrastruktur jalan, penerangan listrik, pendidikan dan kesehatan yang memadai, contohnya di Kabupaten Mahakan Ulu dan Berau, masih sangat tertinggal.

Kondisi otonomi daerah Kaltim tereduksi dengan adanya kebijakan-kebijakan yang sentralistis seperti dalam hal pembagian urusan, kewenangan, dan lain sebagainya. Lambannya transformasi ekonomi menuju sumber daya alam berkelanjutan. Semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup; q. belum tercapainya pelayanan publik yang optimal.

Selanjutnya, masalah yang dihadapi adalah kurangnya kepedulian perusahaan perkebunan dan tambang kepada warga sekitar, padahal SDA terus dikeruk. Angka migrasi masuk yang tinggi tanpa keahlian menyebabkan angka pengangguran tinggi.

Hasil pertanian Kaltim sulit bersaing dengan hasil pertanian dari sulewesi karena lebih mahal. mahal dari sisi transportasi, ditambah pertanian kaltim rata-rata masih tadah hujan, belum memiliki teknologi dalam sistem irigasi.

Menurut Zulkarnain, aneka permasalahan yang jumlahnya sampai 20 itu, sebagian besar untuk mengatasi memerlukan dana yang besar, plus kebijakan Pemerintah Pusat yang memperbesar kewenangan pemerintah provinsi Kaltim, dan membagi secara wajar ke Kaltim berbagai pendapatan negara yang berasal dari kegiatan ekonomi di Kaltim.

“Kita tidak mungkin menyelesaikan masalah tanpa dana,” pungkas Zulkarnain.

Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan | ADV Diskominfo Kaltim

Tag: