Dinamika Efisiensi Antara Kebijakan, Stigma dan Realitas

Penulis: Muhammad Nazmy Anshori

Muhammad Nazmy Anshori. (Foto Dok Pribadi)

Makro ekonomi adalah cabang ilmu ekonomi yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan di tingkat negara. Namun, apakah kebijakan tersebut selalu menguntungkan seluruh masyarakat di negara tersebut? Tentu tidak.

Dalam dinamika kebijakan, sebuah bangsa sering kali harus merelakan kesejahteraan sebagian kelompok demi kepentingan yang lebih luas. Namun, sesuai dengan salah satu prinsip ekonomi, yaitu people respond to incentives. Lalu kelompok mana yang dirugikan jika setiap individu berusaha mengejar kesejahteraan?

Semenjak reformasi pada tahun 1998. Presiden yang dipilih langsung rakyat pertama kali adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Masa pemerintahan SBY kita mampu menganalisis kebijakan yang dikeluarkan dengan pendekatan dasar pertumbuhan ekonomi yaitu Y=C+I+G+(X-M) dan “C” berasal C=(MPC⋅Y).

Melalui analisis kebijakan itu, kita mampu mengetahui bahwa cara SBY meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa dengan meningkatkan “C” yaitu Consumtion.

Perlu diketahui jika Ca=C−(MPC⋅Y) merupakan bagian dari konsumsi otonom yang tidak dipengaruhi  pendapatan, misalnya kebutuhan pokok yang tetap dikonsumsi meskipun pendapatan nol, seperti makanan, tempat tinggal, atau kebutuhan dasar lainnya yang dapat dibiayai dengan tabungan atau pinjaman.

Pada masa pemerintahan SBY, subsidi energi, terutama BBM dan listrik, masih sangat tinggi. Pemerintah lebih memilih menahan harga BBM agar daya beli masyarakat tetap stabil. Hanya saja subsidi yang tinggi menyebabkan beban fiskal yang berat bagi APBN pada 2013.

Hal itu dipengaruhi oleh penerimaan negara Tax (T) lebih kecil dibandingkan pemasukan negara Government Revenue (G), sehingga public saving akan defisit (G>T) dampaknya national saving=Y-C-G, akan menyusut menyebabkan beban keuangan negara menjadi besar.

Gerakan unjuk rasa mahasiswa dari sejumlah elemen kampus di Jakarta 17 Februari 2025 bertajuk “Indonesia Gelap”. (Foto Istimewa)

Tahun 2014 merupakan periode pergantian presiden dari SBY kepada Jokowi. Saat satu tahun pemerintahan Jokowi, justru subsidi BBM dialihkan menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Dana realokasi subsidi BBM diperuntukan untuk subsidi nonenergi sebesar Rp4,3 triliun, subsidi listrik Rp4,5 triliun, pembayaran bunga hutang Rp3,8 triliun, menjaga ketahanan dan kesinambungan fiskal Rp31,9 triliun, serta dana lain-lain sejumlah Rp18,2 triliun.

Salah satu bentuk alokasi prioritas belanja pemerintah pusat adalah program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sejumlah Rp9,3 triliun, Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebesar Rp2,7 triliun, serta Rp7,1 triliun untuk menjalankan program Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Meskipun skema subsidi diterapkan Jokowi ini berbeda dengan era SBY, tapi stigma terhadap kebijakan subsidi tetap sama.

Kemudian, ketika kita amati lebih lanjut konsep kebijakan SBY dan Jokowi hampir sama yaitu dengan memberikan subsidi konsumsi kepada masyarakat dengan tujuan agar daya beli masyarakat meningkat. Hal inilah yang membangun stigma di masyarakat bahwa “siapapun presidennya kehidupan masyarakat akan tetap sama”. Sesuai dengan konsep consumer behavior.

Seiring dengan meningkatnya subsidi dan pendapatan riil, konsumen dapat mencapai tingkat keseimbangan baru yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh perpindahan titik keseimbangan ke kurva kepuasan yang lebih tinggi, di mana mereka mampu mengakses lebih banyak barang dan jasa tanpa mengorbankan pilihan konsumsi lainnya.

Dengan daya beli yang lebih besar, konsumen memiliki kesempatan untuk menikmati kombinasi konsumsi yang lebih optimal, sehingga meningkatkan tingkat kepuasan atau utilitas mereka.

Bagaimana dengan masa Prabowo-Gibran?. Jika merujuk pada visi-misi Prabowo yang menekankan pada kemandirian pangan dan energi, kemungkinan besar subsidi akan difokuskan pada sektor pertanian dan industri dalam negeri.

Subsidi pupuk dan bantuan kepada petani serta nelayan berpotensi ditingkatkan. Selain itu, ada kemungkinan subsidi energi tetap diberikan dengan skema yang lebih selektif agar tepat sasaran. Namun, terdapat kebijakan kontroversial, yaitu ‘Efisiensi Anggaran’.

Pada awal implementasinya, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Salah satu dampaknya adalah pengurangan jam layanan Perpustakaan Nasional. Meski akhirnya kebijakan direvisi dan dibatalkan, namun tetap memunculkan kontroversi.

Salah satu dari banyak kontroversi yang muncul dan mencengangkan adalah penurunan drastis anggaran program pengembangan prestasi dan talenta di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dari Rp408,3 miliar menjadi Rp57,3 miliar, atau turun Rp350,9 miliar.

Pemotongan ini berpotensi menghambat prestasi talenta muda Indonesia di berbagai kompetisi, baik nasional maupun internasional. Inilah yang menyebabkan mengapa diawal masa jabatan Prabowo-Gibran mengalami banyak demonstrasi dan kritik tajam dari masyarakat sipil.

Kebijakan yang dikeluarkan dirasa tidak berdampak langsung kepada masyarakat secara umum karena stigma “siapapun presidennya kehidupan Masyarakat akan tetap sama” tidak sejalan lagi. Pada dasarnya jika kita kembali dengan persamaan pendekatan dasar pertumbuhan ekonomi yaitu Y=C+I+G+(X-M) di awal masa jabatan Prabowo-Gibran komponen konsumsi difokuskan untuk program prioritas yakni Makan Bergizi Gratis (MBG).

Objek komponen konsumsi tesebut terfokus kepada kelompok penerima MBG saja, dilain sisi banyak masyarakat justru mengalami kerugian akibat pemangkasan anggaran yang ada.

*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia

Tag: