DJP Sudah Terima 194.122 SPT Tahunan Orang Pribadi dan 9.416 SPT Tahunan Badan

Ilustrasi

JAKARTA.NIAGA.ASIA –  Realisasi SPT tahun pajak 2022, mulai 1 Januari 2023 sampai dengan hari Rabu, 11 Januari  pukul 08.05 WIB, DJP (Direktorat Jenderal Pajak)  sudah menerima 194.122 SPT Tahunan orang pribadi dan 9.416 SPT Tahunan badan.

Hal itu dikatakan  Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo saat melakukan media briefing untuk memberikan informasi perpajakan terkini kepada awak media, Selasa (10/01) di Kantor Pusat DJP Jakarta.

Diinfokan pula  terkait Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang telah terintegrasi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sampai dengan 8 Januari 2023 sudah ada 53 juta NIK terintegrasi dengan NPWP dari total 69 juta NIK.

“Saya mengimbau kepada para wajib pajak (WP) orang pribadi dalam negeri untuk segera melakukan pemadanan NIK sebagai NPWP melalui portal djponline www.pajak.go.id agar manfaat integrasi dapat segera dirasakan,” kata Suryo.

Dalam acara tersebut, Suryo menyampaikan kembali pilar-pilar reformasi perpajakan, yakni pilar organisasi, SDM, IT dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perundang-undangan.

Melalui perbaikan-perbaikan yang dilakukan dalam koridor reformasi perpajakan tersebut, salah satu hasil dari keberhasilan tersebut tecermin pada keberhasilan DJP mencapai target penerimaan pajak dua tahun terakhir.

Pada pilar peraturan perundang-undangan, perbaikan regulasi telah dilakukan dengan terbitnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Untuk mengelaborasi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menerbitkan satu peraturan pemerintah (PP) di bidang Pajak Penghasilan (PPh), satu di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, dan dua di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yakni, PP-55/2022, PP-50/2022, PP-44/2022, dan PP-49/2022.

“Saya perlu tekankan bahwa bahwa pengaturan dalam keempat peraturan pemerintah ini bukanlah pengaturan baru melainkan pelaksanaan atau elaborasi dari UU HPP sehingga tidak lepas dari UU HPP,” kata Suryo.

Terkait ketentuan perlakuan PPh atas natura/kenikmatan, Suryo menegaskan bahwa mekanisme natura/kenikmatan yang diatur dalam UU HPP dan PP-55/2022, yakni menjadi dapat dibebankan dan menjadi objek PPh (taxable and deductible) bertujuan meningkatkan keadilan dan lebih tepat sasaran.

Suryo menjamin mekanisme ini tidak akan mengganggu pekerja yang selama ini mendapat fasilitas yang menunjang pekerjaannya.

Saat ini DJP sedang menyusun rancangan Peraturan Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut natura/kenikmatan yang dikecualikan dari pengenaan PPh.

“ Rencana natura/kenikmatan yang akan dikecualikan antara lain, bingkisan dengan batasan tertentu, peralatan dan fasilitas kerja seperti laptop dan ponsel, fasilitas kendaraan yang diterima oleh selain pegawai jabatan manajerial, fasilitas pelayanan kesehatan, dan lain-lain,” ungkapnya.

Selanjutnya, pada media briefing tersebut disampaikan pula rencana simplifikasi pengaturan atas penghitungan PPh pasal 21. Nantinya, mekanisme penghitungan PPh pasal 21 yang selama ini dirasa membingungkan karena memiliki kurang lebih 400 skenario penghasilan, diubah menggunakan skema tarif efektif (TER). Tarif efektif ini akan tersedia dalam tiga tabel tarif yang sudah memperhitungkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi setiap jenis status PTKP.

“Skema ini akan memudahkan penghitungan karena wajib pajak tinggal mengalikan tarif efektif tersebut dengan penghasilan bruto setiap masa pajaknya,” kata Suryo.

Sumber: Biro KLI Kemenkeu | Editor: Intoniswan

Tag: