SAMARINDA.NIAGA.ASIA – Teori dramaturgi dalam konteks politik kerap disebut dan dibawa-bawa pengamat saat mengulas perilaku elit politik dan partai-partai.
Menurut Erving Goffman (1922), dramaturgi adalah teori yang menjelaskan bahwa dalam kegiatan interaksi satu sama lain sama halnya dengan pertunjukan teater. Dikatanya, ada ‘back stage’ (panggung belakang) dan ‘front stage’ (panggung depan).
Konteksnya, perilaku para politikus (terutama dalam tahun politik) relevan dengan teori dramaturgi. Perilaku mereka ketika ‘berakting’ di panggung depan, berbeda ‘aktingnya’ ketika berada di panggung belakang. Sehingga dapat mengecoh khalayak demi mencapai tujuan politiknya, kekuasaan.
Namun tidak lantas berlarut-larut memperbincangkan teori dramaturgi dan dunia politik. Biarlah itu jadi urusan para politikus dan pengamat.
Teori dramaturgi dikembalikan kepada habitatnya, dunia teater atau drama. Terutama sebagai pelengkap penting dalam teknik penyutradaraan.
Menurut salah satu sutradara terbaik Kaltim Sahabudin Pance, teori dramaturgi sebagai pintu masuk dalam teknik penyutradaraan.
“Dalam dramaturgi ada panggung depan dan panggung belakang. Panggung belakang dapat diterjemahkan sebagai kehidupan keseharian aktor dan aktris dengan latar belakang kehidupan masing-masing. Sedang di panggung depan menjadi tugas sutradara menciptakan para aktor/aktrisnya agar berakting sesuai perannya,” ungkap Pance, sapaan akrab Sahabudin Pance.
Dijelaskan pula, dalam proses mencapai esensi dramaturgi itu, dikatakannya ada teknik dan langkah penyutradaraan agar pementasan lancar dan sukses.
“Langkah yang paling awal ada pada penentuan naskah yang dipentaskan. Biasanya sutradara memilih naskah itu sesuai dengan ‘pesanan’ atau kebutuhan artistik grupnya dan faktor-faktor lainnya,” ungkapnya.
Menurut Pance, tentunya dalam tahap ini diperlukan kejelian sutradara dalam memilah, memilih dan membedah naskah dengan mempertimbangkan kemampuan dirinya sendiri dalam menyutradarai. Kondisi sosial, politik, ekonomi dan strata usia penonton juga penting dipertimbangkan.
Selanjutnya memilih atau ‘casting’ aktor/aktris atau pemain. Kekuatan akting dan latar belakang kehidupan, usia dan profesi harus jadi pertimbangan dalam menentukan peran.
Tahapan-tahapan lain yang juga harus dilalui, ujarnya, adalah kesamaan interpretasi naskah, latihan vokal, hapalan naskah, bloking dan gruping para pemain, penghalusan peran, orientasi pentas, gladi dan pementasan. Dalam tahap ini idealnya memerlukan waktu minimal 30-40 kali latihan.
Untuk memperkuat penggarapan, sutradara harus membersamainya dengan urusan tata artistik dan non-artistik. Di sini sutradara sebagai pemegang tumpuk kekuasaan manajemen pentas, membagi kerja, ada pimpinan produksi, sekretaris, bendahara, penata cahaya, penata busana/rias, penata panggung dan properti, humas/marketing dan lain-lain sesuai kebutuhan pementasan yang ideal.
Selama persiapan hingga pementasan sutradara bertindak sebagai artis, guru dan eksekutif. Untuk mempengaruhi karakter dan penghayatan pemain, ada dua tipe: sutradara teknikus dan sutradara psikologi dramatik.
“Dalam melatih sutradara memiliki tiga tipe: interpretator, kreator dan gabungan keduanya. Sedangkan kalau dikategorikan dalam cara ada dua tipe: sutradara diktator dan sutradara demokratis,” pungkas Pance.
Penulis: Hamdani |Editor: Intoniswan | Advetorial
Tag: Drama