
PEKANBARU.NIAGA.ASIA – Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas TVRI dan mantan anggota Dewan Pers, mengungkapkan fakta mengejutkan mengenai belanja iklan di Indonesia pada 2024 yang diperkirakan mencapai Rp 107,291 triliun, dimana dominasi iklan digital sebesar 44,1%, media online 17,3%, televisi 15,5%, media sosial 11,6%, retail media network 7,2%, dan media cetak 4,3%.
“Perusahaan besar seperti Google dan Facebook menguasai 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, sementara media nasional hanya memperoleh sisanya,” kata Agus Sudibyo saat menjadi pembicara dalam acara Sarasehan Nasional Media Massa dengan tema “Preservasi Jurnalisme Sebagai Pilar Demokrasi Digital” yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2025, di Pekanbaru, Riau, hari, Minggu (9/2/2025).
Panitia HPN Riau menyelenggarakan Acara ini berlangsung dengan menghadirkan sejumlah tokoh penting di dunia jurnalisme, senior dan sesepuh Pers Indonesia bersama Ketua-Ketua PWI seluruh Indonesia dan Dewan Kehormatan, Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho dan Kapolda Riau Irjen M Iqbal.
Sarasehan ini dihadiri oleh pembicara-pembicara terkemuka di dunia pers Indonesia, antara lain Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas TVRI; Nurjaman Mochtar, Sekretaris Dewan Pakar PWI Pusat; Dhimam Abror, Ketua Dewan Pakar PWI Pusat; dan Hilman Hidayat, Ketua PWI Jawa Barat, Tribuana Said, Ilham Bintang, Atal S Depari, Asro Kamal Rokan, Dar Edi Yoga, Musrifah dan lainnya.
Agus melanjutkan dengan membahas konsekuensi dari fenomena ini di mana Google dan Facebook menguasai sekitar 75-80% dari total belanja iklan digital nasional, semakin menunjukkan bahwa media sosial dan platform digital menjadi kekuatan utama dalam perekonomian iklan di Indonesia, yang secara tidak langsung telah menantang eksistensi media mainstream.
Terakhir, Agus menutup komentarnya dengan menyinggung fenomena yang disebutnya sebagai ‘imperialisme digital’, yang menggambarkan dominasi beberapa perusahaan teknologi besar dalam menguasai pasar digital global.
“Digitalisasi adalah fenomena global yang dihadapi semua negara, tetapi surplus dari hasil digitalisasi ini hanya dikuasai oleh beberapa perusahaan besar, terutama yang berasal dari satu atau dua negara saja,” jelasnya.
Fenomena medsos
Di balik fenomena tersebut, Agus juga menyoroti sebuah hal yang lebih mendalam, yaitu kebutuhan masyarakat terhadap informasi berkualitas dan bertanggung jawab yang semakin besar.
Meskipun media sosial terus berkembang dan semakin mendominasi, Agus menegaskan bahwa media sosial tidak dapat sepenuhnya menggantikan fungsi media tradisional dalam menyediakan informasi yang akurat dan terverifikasi.
Agus pun memperingatkan tentang fenomena berita hoaks yang marak di media sosial, yang sering kali memecah belah masyarakat dan merusak integritas demokrasi.
“Tentu, kita tidak perlu terlalu khawatir karena di tengah disrupsi ini, tetap ada kebutuhan yang kuat akan informasi berkualitas dan jurnalisme yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Media sosial tidak bisa sepenuhnya menggantikan kebutuhan masyarakat akan informasi yang mendalam dan berbasis fakta. Secara global, ada kekhawatiran yang sama, yakni media sosial justru semakin memperburuk perpecahan di antara masyarakat, baik dalam hal agama, dan politik.
Ia juga menyinggung pentingnya model distribusi konten yang adaptif dan menegaskan bahwa saat ini sangat tidak masuk akal jika ada media yang tidak menggunakan media sosial, sebagai saluran distribusi konten.
Media sosial menjadi platform penting untuk menjangkau audiens yang lebih luas, dan media tradisional harus mampu memanfaatkan media sosial sebagai alat distribusi yang efektif tanpa kehilangan kualitas dan integritas informasi.
Penulis: Intoniswan | Editor: Intoniswan
Tag: Media MassaMedia Pers